HARI PERTAMA
Karena kau tidak akan pernah tahu,
kapan waktu hati kan tersentuh oleh sayup-sayup bisikan lembut yang mampu
menggetarkan hati, dan membolak-balikan hati. Maka dari itu perbanyaklah
berterima kasih. Karena tak banyak orang yang memiliki kesempatan untuk kembali
sebelum dirinya mampu untuk membenahi diri.
“Bantu
Aku.” Aku memeluk Fatimah yang belum selesai berdoa. Fatimah tersenyum.
“Tentu Adik Sayang.”
“Adek
menginap ya Kakak.”
“Siap.”
Seusai
sholat ku rapikan rambutku di cermin, kulihat Fatimah yang sedang memakai kaus
kakinya memberhatikanku dengan seksama. Selesai merapikan diri, kita keluar
dari ruang utama mushola untuk memakai sepatu. Aku bercerita ini itu tentang
kejadian telatku tadi pagi, tanpa jeda aku membuat suasana mushola yang sepi
menjadi ramai, beruntung tidak ada yang sedang beribadah, jadi kurasa aku tidak
mengganggu, hanya sedikit.
“Mah,
tadi aku masa di suruh bayarin makan sama Bang Dimas, nyebelin banget kan.”
Aku
bercerita seolah dengan patung, Fatimah menghiraukanku, sungguh sebal rasanya.
Aku ingin tahu apa yang membuatnya mengabaikanku biasanya Dia adalah pendengar
yang baik, dan selalu menegurku bila aku berhubungan dengan Dimas. Ternyata Dia
seorang laki-laki diseberang sana. Sepertinya Dia juga baru usai melaksanakan
sholat Dhuha. Dia memakai sepatunya dengan hikmat, ku perhatikan dari tempatku
berada. Dia bukanlah laki-laki hits,
tapi aku sering melihatnya, gayanya sangat sederhana. Sepatu pantofel hitam,
dipadu dengan celana kain hitam yang rapi dengan kemeja berwarna biru muda
dirangkap jaket hitam berbahan kain dengan identitas suatu komunitas yang tidak
asing.
Ada
yang mengalir deras, hatiku. Iya benar, tak
biasnya seperti ini. Ketika kulihat mata teduhnya yang tertunduk memakai
sepatu. Wajahnya sangat bersih, ada sinar lain yang membuatku terkesima,
rambutnya basah terkena air wudhu. Sangat menyejukan, tak berapa lama, pemandangan ini bukan hanya aku saja yang
menikmati. Fatimah juga, sampai aku tersadar pun Dia masing tersenyum
memperhatikannya. Pikiranku pun menjadi buyar, penilaian ku tadi tentang
laki-laki itu hilanglah sudah, saat ini yang ku fikirkan adalah Fatimah.
“Ciieee…”
Ku sikut lembut Dia, agar tidak terhanyut.
Dia
pernah menasihatiku tentang hubungan dengan laki-laki, Dia tidak melarangku
untuk pacaran namun pesanya ini membuatku yakin Dia tak ingin aku terjerumus
dalam ikatan yang maya itu.
Dia
berkata “Berhematlah, mulai saat ini, karena Kau tak tahu siapa yang nanti akan
kau beri hati. Persembahkanlah itu sepenuhnya untuk orang yang layak
menerimanya nanti.”
Mungkin
aku mengerti apa yang Dia maksud. Aku diminta olehnya untuk menjaga hati ini
untuk tak mudah jatuh hati, jatuh cinta itu boleh namun untuk jatuh hati tidak
boleh. Jangan pernah memberikan hati ini pada siapapun, karena mungkin saat ini
aku hanya sedang jatuh cinta. Aku diminta untuk menjaga hatiku, agar aku kelak
bisa memberikan hatiku sepenuhnya pada seseorang yang halal untuk ku beri hati.
“Kakak
suka, bilang.” Aku menggodanya. Fatimah tidak merespon.
“Berhematlah
mulai saat ini.” Aku meniru gaya Fatimah saat menasihatiku dengan terkekeh.
“Apa
sih Adek, sudah diam ayo pulang.” Wajah Fatimah benar-benar berubah ranum.
Pasti ada sesuatu. Gumamku
dalam hati
Ku
lihat Laki-laki itu mendekat ke arah kami. Dekat dan semakin dekat sepertinya
Dia ada perlu dengan salah satu dari kami.
“Assalamu
alaikum Dik.” Dia menyalami Fatimah tanpa bersentuhan. Indah dipandang.
‘Wa
alaikum salam Kak.” Wajah Fatimah benar-benar memerah.
“Bagaimana
Dik?”
“Insha
Allah Kak?”
Perbincangan
macam apa ini. Mereka berdua berbincang tanpa memperhatikanku. Aku tak mengerti
apa yang mereka bicarakan. Laki-laki itu sedetikpun tidak menyempatkan waktunya
melihatku. Dengan antusias Ia mendengarkan Fatimah berbicara, begitu juga
sebaliknya. Aku tak suka keadaan ini, bukan cemburu melainkan tidak biasanya
seorang Rara di abaikan seperti ini. Aku terkenal menjadi pribadi yang
menyenangkan dan mencuri banyak perhatian. Dan apa yang terjadi sekarang, Aku
merasa terabaikan.
“Eheem..
Eheem”
“Heem..
Hemmmmm.” Ku keraskan suaraku.
“Iya
Adek.” Fatimah tersenyum.
Ketidakterimaanku
masih belum terpuaskan.
“Bang”
“Saya.”
Laki-laki itu menunjuki dirinya sendiri dengan bingung.
“Iya
kamu Bang. Aku capek, bawain sepedaku ke depan gerbang utama ya. Abang tunggu
disitu, aku pengin jalan sama Fatimah.”
“Taa..”
Belum
sempat Dia mengelak, aku menarik Fatimah untuk mau menurutiku. Fatimah hanya
bisa pasrah dan menggeleng dengan kelakuan kekanakanku yang memang sering
terjadi. Ku lihat dari kejauhan begitu juga dengan Laki-laki itu, Dia mendesah
dan kulihat Dia beristigfar sambil meraih sepedaku dan mulai menjalankanya di
arah yang berbeda dari jalan yang kita tempuh.
“Cantika Maharani, Adek cantik yang
paling Ku sayangi.”
“Iya
Kakak”. Masih tetap menggandeng Fatimah.
“Kau tahu siapa Dia?”
“Calon
Imammu Mah?” Aku terkekeh melihat wajah Fatimah yang memerah.
“Huusst, Dia Mas Rizqi, Rizqi
Fatkhah.”
“OOOww,
Lalu?”
“Dia
Ketua Kerohanian Islam.” Fatimah menjelaskan dengan semangat.
'“Terus?”
Ku lihat wajah Fatimah yang mulai kesal lucu sekali.
“Iya..
iya.. Pantas kok Mah. Soleh, Ganteng pula.” Aku menjawab seperti yang
diinginkan Fatimah.
“Kau Suka?”
“Siapa?”
“Kak Rizqi.”
“Kok
bisa?”
“Kok nanya, tadi kan Rani yang
bilang Dia Ganteng. Kamu suka orang kaya Dia?”
“Iya,
siapa yang gak suka orang semacam
Dia. Dhuha saja tidak pernah Dia lewatkan, apa lagi Ibadah yang lainnya.
Menurutku orang yang seperti itu ganteng. Ya kan Mah, Dia tipe kamu?” Aku
mendesak.
Fatimah
datar menanggapi pernyataanku, Aku rasa Dia cemburu. Bagaimana tidak Ku lihat
mereka sangat akrab. Aku mengenal orang itu “Rizky Fatkah” tapi baru kali ini
Aku mengetahui namanya. Orang yang tidak pernah menyapaku, kini aku mengetahui
namanya, dan Dia adalah laki-laki yang temanku sukai. Mereka sangat serasi,
keduanya sangat indah dilihat berdampingan. Seorang Laki-laki yang soleh,
bersama dengan wanita soleha, saling menjaga. Mendoakan lewat salam, berjabat
tanpa bersentuhan, berbicara sepenuhnya dengan adab yang tidak dimiliki oleh
banyak remaja kekinian.
“Saya
kira..” Fatimah heran.
“Sudah,
sudah, kok jadi ngomongin orang gak baik loh Kakak, Ayo Bang Fatkhah pasti
sudah kepanasan nunggu. Balapan dong Mah yang menang jadi Istrinya Bang
Fatkah.”
Aku
berlari kecil meninggalkannya. Tidak mungkin bagi Fatimah untuk berlari, busana
muslimnya memang memberikan pembawaan yang anggun. Memang benar akhirnya aku
sampai terlebih dulu karena rasa bersalahku. Aku benar-benar tak enak hati,
karena baru saja Aku mengenalnya sudah menjadi pelampiasan marahku. Fatimah
mengikuti dari belakang dengan nafas yang terengah-engah berusaha berjalan
mengikutiku yang setengah berlari.
“Maaf
ya Bang. Terima kasih.” Aku meraih setang sepedaku. Dengan cepat Fatkhah
mejauhkan tangannya dari tanganku.
“Iya
gpp Dik Rara.” Dia tersenyum, bukan padaku melainkan pada Fatimah.
“Maaf
ya kak sudah merepotkan. Harap maklum.” Fatimah tersenyum, mereka berdua
tersenyum.
Ku
rasa mereka benar-benar sedang dilanda asmara. Fakthah rela membawakan sepedaku
hanya untuk kembali bertemu dengan Fatimah, begitu juga Fatimah yang rela
terengah untuk segera menemui Fatkhah. Aku hanya menggeleng menghormati
perasaan mereka, meski sedikit kurang nyaman, rasanya aku menjadi pengganggu
muda-mudi yang sepertinya beberapa hari lagi akan melangsungkan akad.
“Mau
kemana?” Tanya Fakthah pada Fatimah dengan ramah.”
“Rahasia!!!!”
“Ayoo cepat Mah, nanti keburu Dhuhur.” Tanpa
memberi kesempatan untuk Fatimah menjawab aku memotong percakapan mereka.
Aku
memboncengkan Fatimah dengan sepedaku.
Selepas
Dhuhur kita memutuskan untuk kembali pulang. Fatimah membawakan barang
belanjaan yang cukup banyak, Aku mengayuh sepeda dengan sisa tenaga yang
kumiliki, ingin cepat sampai di rumah kos Fatimah yang jaraknya masih lumayan
jauh. Tiba-tiba bunyi khas penjual ice cream terdengar Fatimah kebingungan, Aku
tertawa karena itu adalah dering ponselku.
“Mah,
ambilin HP dong di depan.”
Fatimah
menyerahkan handphoneku yang sempat mati dan berbunyi kembali.
“Assalamu
alaikum Bang.” Aku menghentikan sepedaku.
“Dimas
Ra?” Fatimah penasaran. Aku hanya mengangguk.
“Wa alaikum salam, dimana?”
“Apanya?”
“Posisi.”
“Siapa?”
“Rani.”
“Jalan.”
“Sama?”
“Mbak
Mah.”
“Ooh, ya sudah. Assalamu alaikum.”
“Wa
alaikum salam.” Dimas menututup teleponnya.
“Huuft
dasar, ga jelas.” Aku menggerutu.
“Sepertinya
Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Fatimah mengingatkan.
Tanpa
menghiraukan kejadian tadi ku lanjutkan mengayuh sepedaku, dan mampir di warung
makan untuk makan siang kami.
“Sampai
juga.” Aku menghela nafas panjang.
“Alhamdulillah.” Syukur Fatimah
“Kenapa
hilang.?” Tiba-tiba ada yang menarik hidungku.
“Ihh
Abang kan pacaran.” Aku cemberut dan memperbaiki posisi hidungku khawatir ada
yang bergeser.
“Makanan
tuh.” Mata Dimas tertuju pada bungkusan yang ada di tangan Fatimah.
“Kasihin
Mah yang punya aku, beliin Aku jus aja ya Bang, wortel campur jeruk, jangan
pakai susu.” Fatimah memberikannya pada Dimas.
“Makasih
Adek sayang.” Dimas mengacak lembut rambutku yang basah keringat.
“Abang
sini aja yaa.” Aku tersenyum dan menarik Fatimah untuk bergegas ke dalam.
===
“Sudah,
cantik Ra.” Fatimah memuji.
Aku
hanya terdiam, berusaha memastikan diriku di depan cermin. Aku tersenyum
melihat keadaanku saat ini, sangat berbeda dari biasanya. Ini adalah hari
pertamaku, bersamanya, sesuatu yang membuatku menjadi sangat istimewa, yang
kudambakan namun baru hari ini baru dapat dilaksanakan. Berlama-lama ku didepan
cermin, bertanya pada diri sendiri siapakah gadis yang ada dibalik cermin itu,
sepertinya Aku belum pernah mengenalnya, tetapi Dia menyatu denganku. Siapa
lagi kalau bukan bayangku sendiri, Dia tersenyum manis seperti hatiku. Ada yang
membucah dalam diriku, entah apa hingga tak kuasa ku menahan haru. Dipeluk erat
tubuhku hingga kulihat juga bayang Fatimah yang tersenyum manis memastikan
bayang itu adalah diriku.
Hari
ini 12 Desember 2015 Aku berhijab.
“Fatimah.”
Mataku terasa hangat.
“Iya
Adik Cantik.” Fatimah terus memelukku.
“Bantu
Aku menjaganya.”
“Tentu.”
Akhirnya kami pun larut dalam haru yang menyejukan.
Teringat
sekitar masa ku masih kelas dua SMA ada yang membuatku sangat terpukul, bukan
patah hati atau semacamnya, tetapi keputusanku mendapatkan penolakan keras oleh
orang tuaku terutama Ibuku sendiri. Aku memanglah anak nakal, tak tahu mendapat
inspirasi dari mana, Aku mengutarakan keinginanku untuk mengenakan jilbab waktu
itu. Mungkin dulu karena malu, bagaimana tidak, Aku mengikuti salah satu Ekstra
Kurikuler (Eskul) di sekolah yakni Kerohanian Islam, dimana mereka semua
memiliki penampilan yang anggun dan tentunya mereka semua mengenakan jilbab.
Bagaimana denganku, saat itu tidak.
Aku
sangat beruntung, diberi kesempatan untuk terketuk hatinya mengikuti kegiatan
yang ada di Eskul Kerohanian Islam. Aku mendapat keluarga yang baik, dan
mendapat lingkungan yang mendukungku untuk menjadi sosok yang lebih baik.
Meskipun kekurangan sumbernya adalah diriku sendiri, namun setidaknya dengan
mereka, Aku mengenal sesuatu yang istimewa, yang tidak akan didapatkan di
pelajaran Matematika dan lainnya. Sesuatu yang istimewa tersebut adalah
pembentukan karakter, meski tak sepenuhnya dapat merubah seseorang, dengan kita
berkumpul dalam suatu lingkungan yang baik, maka kita akan mengikuti lajunya dan
berperan selayaknya mereka yang terdapat dalam lingkungan tersebut.
Waktu
itu, niatanku disambut baik oleh Kakak tingkatku, mereka membantuku untuk
melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslimah yang telah jelas diterangkan
dalam Al Quran.
“Hai Nabi, katakanlah kepada
iteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jlbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al Ahzab: 59).
Kak
Fia seorang senior yang sangat penyabar, Ia juga menjadi menti (pementor
perempuan) yang membimbingku dengan setiap pertemuan rutin yang diadakan
seminggu sekali untuk memberikan sekedar tausiyah, berbagi ilmu agama, dan
membahas topik-topik terkini dalam pandangan Islam. Menjelang kelulusannya, Aku
mengkomunikasikan niatanku padanya, dan Dia sangat bahagia mendengarkan
keinginanku ini. Ia setuju memberikan pakaian seragamnya yang berlengan panjang
untuk memudahkanku melaksanakan niatku. Maklum saja, untuk membeli seragam
pastinya akan sangat mahal. Aku sangat bahagia dengan bantuan dari Kak Fia
tersebut dan sangat tak sabar menunggu kelulusannya agar dapat segera
melaksanakan apa yang seharusnya Ku laksanakan.
Sepulang
dari sekolah, Aku menunggu Ibuku dari tempat kerjanya, sudah tidak sabar aku
ingin bercerita tentang kabar gembira ini. Namun, apa yang terjadi semuanya
tidak seperti yang diharapkan. Ibuku menolak keras aku mengenakan jilbab saat
itu, meski sudah ku jelaskan sudah tak harus membeli seragam berlengan panjang
karena sudah ada Kak Fia yang siap membantu. Nyatanya itu tak membuat hati
Ibuku tergerak. Dengan alasan Aku belum mampu istiqomah untuk menjaganya,
ditakutkan Aku mengenakan dan melepas jilbabku seenaknya.
Malam
itu adalah perenungan yang panjang, malam yang berat. Aku dan sifat kekanakanku
membuatku menangis semalaman. Masih teracuni oleh syetan, dalam tangisku Aku
mengiyakan apa yang dikatakan Ibuku. Keluarga kami memang tak di backgrouni ilmu
agama yang kecukupan, mungkin saat itu Ibuku belum tahu apa yang menjadi
kewajiban dari seorang muslimah. Maklum saja, separuh dari keluargaku memiliki
keyakinan yang berbeda. Kami menghormati dengan cara mengikuti mereka, memang
itu adalah cara yang salah. Tidak ada kata siap dan tidak siap untuk berjilbab,
seorang wanita yang mengenakannya meski belum sepenuhnya memenuhi syariat akan
lebih baik dibandingkan Ia yang tak memiliki niat sama sekali untuk
mengenakannya. Seiring berjalannya waktu akhirnya Ibukupun mengerti dan saat
inipun Ia mengenakan jilbab dan menjadi lebih cantik bahkan menyaingi diriku
yang lebih muda darinya.
Hari
pertamaku dengan jilbab merah mudaku. Aku memberanikan diri untuk
memperkenalkan diriku yang baru kepada dunia mulai detik ini. Setelah berpuas
di cermin, Fatimah mengajaku keluar untuk melihat bagaimana reaksi dari bumi
ketika melihatku saat ini.
“Cantika
Maharani.” Dimas menyebut nama lengkapku dengan terheran melihatku.
“Iya
Bang.” Aku tersenyum malu.
Dia
tak mengacak rambutku seperti biasanya, Dimas hanya duduk menahan dagunya yang
panjang dengan kedua tangannya dan tak henti menatapku.
Aku tak ingin momen ini terlalu lama terjadi, Aku mengedipkan mataku dengan
genit dan memperlihatkan keagresifanku seperti biasa. Ku rebut jus pesananku
dan ku minum hingga lupa berdoa. Bila boleh jujur Aku sangat gugup dan salah
tingkah, namun kenakalanku menutupi semuanya dan itu berhasil.
“Ternyata
Kamu masih Adikku.” Dimas tersenyum.
0 comments:
Post a Comment