Monday, July 4, 2016

Cup of Coffee 2#

HARI PERTAMA

Karena kau tidak akan pernah tahu, kapan waktu hati kan tersentuh oleh sayup-sayup bisikan lembut yang mampu menggetarkan hati, dan membolak-balikan hati. Maka dari itu perbanyaklah berterima kasih. Karena tak banyak orang yang memiliki kesempatan untuk kembali sebelum dirinya mampu untuk membenahi diri.


“Bantu Aku.” Aku memeluk Fatimah yang belum selesai berdoa. Fatimah tersenyum.

“Tentu Adik Sayang.”

“Adek menginap ya Kakak.”

“Siap.”

Seusai sholat ku rapikan rambutku di cermin, kulihat Fatimah yang sedang memakai kaus kakinya memberhatikanku dengan seksama. Selesai merapikan diri, kita keluar dari ruang utama mushola untuk memakai sepatu. Aku bercerita ini itu tentang kejadian telatku tadi pagi, tanpa jeda aku membuat suasana mushola yang sepi menjadi ramai, beruntung tidak ada yang sedang beribadah, jadi kurasa aku tidak mengganggu, hanya sedikit.

“Mah, tadi aku masa di suruh bayarin makan sama Bang Dimas, nyebelin banget kan.”

Aku bercerita seolah dengan patung, Fatimah menghiraukanku, sungguh sebal rasanya. Aku ingin tahu apa yang membuatnya mengabaikanku biasanya Dia adalah pendengar yang baik, dan selalu menegurku bila aku berhubungan dengan Dimas. Ternyata Dia seorang laki-laki diseberang sana. Sepertinya Dia juga baru usai melaksanakan sholat Dhuha. Dia memakai sepatunya dengan hikmat, ku perhatikan dari tempatku berada. Dia bukanlah laki-laki hits, tapi aku sering melihatnya, gayanya sangat sederhana. Sepatu pantofel hitam, dipadu dengan celana kain hitam yang rapi dengan kemeja berwarna biru muda dirangkap jaket hitam berbahan kain dengan identitas suatu komunitas yang tidak asing.

Ada yang mengalir deras, hatiku. Iya benar, tak biasnya seperti ini. Ketika kulihat mata teduhnya yang tertunduk memakai sepatu. Wajahnya sangat bersih, ada sinar lain yang membuatku terkesima, rambutnya basah terkena air wudhu. Sangat menyejukan, tak berapa lama, pemandangan ini bukan hanya aku saja yang menikmati. Fatimah juga, sampai aku tersadar pun Dia masing tersenyum memperhatikannya. Pikiranku pun menjadi buyar, penilaian ku tadi tentang laki-laki itu hilanglah sudah, saat ini yang ku fikirkan adalah Fatimah.

“Ciieee…” Ku sikut lembut Dia, agar tidak terhanyut.

Dia pernah menasihatiku tentang hubungan dengan laki-laki, Dia tidak melarangku untuk pacaran namun pesanya ini membuatku yakin Dia tak ingin aku terjerumus dalam ikatan yang maya itu.
Dia berkata “Berhematlah, mulai saat ini, karena Kau tak tahu siapa yang nanti akan kau beri hati. Persembahkanlah itu sepenuhnya untuk orang yang layak menerimanya nanti.”

Mungkin aku mengerti apa yang Dia maksud. Aku diminta olehnya untuk menjaga hati ini untuk tak mudah jatuh hati, jatuh cinta itu boleh namun untuk jatuh hati tidak boleh. Jangan pernah memberikan hati ini pada siapapun, karena mungkin saat ini aku hanya sedang jatuh cinta. Aku diminta untuk menjaga hatiku, agar aku kelak bisa memberikan hatiku sepenuhnya pada seseorang yang halal untuk ku beri hati.

“Kakak suka, bilang.” Aku menggodanya. Fatimah tidak merespon.

“Berhematlah mulai saat ini.” Aku meniru gaya Fatimah saat menasihatiku dengan terkekeh.

“Apa sih Adek, sudah diam ayo pulang.” Wajah Fatimah benar-benar berubah ranum.

Pasti ada sesuatu. Gumamku dalam hati

Ku lihat Laki-laki itu mendekat ke arah kami. Dekat dan semakin dekat sepertinya Dia ada perlu dengan salah satu dari kami.

“Assalamu alaikum Dik.” Dia menyalami Fatimah tanpa bersentuhan. Indah dipandang.

‘Wa alaikum salam Kak.” Wajah Fatimah benar-benar memerah.

“Bagaimana Dik?”

“Insha Allah Kak?”

Perbincangan macam apa ini. Mereka berdua berbincang tanpa memperhatikanku. Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Laki-laki itu sedetikpun tidak menyempatkan waktunya melihatku. Dengan antusias Ia mendengarkan Fatimah berbicara, begitu juga sebaliknya. Aku tak suka keadaan ini, bukan cemburu melainkan tidak biasanya seorang Rara di abaikan seperti ini. Aku terkenal menjadi pribadi yang menyenangkan dan mencuri banyak perhatian. Dan apa yang terjadi sekarang, Aku merasa terabaikan.

“Eheem.. Eheem”

“Heem.. Hemmmmm.” Ku keraskan suaraku.

“Iya Adek.” Fatimah tersenyum.

Ketidakterimaanku masih belum terpuaskan.

“Bang”

“Saya.” Laki-laki itu menunjuki dirinya sendiri dengan bingung.

“Iya kamu Bang. Aku capek, bawain sepedaku ke depan gerbang utama ya. Abang tunggu disitu, aku pengin jalan sama Fatimah.”

“Taa..”

Belum sempat Dia mengelak, aku menarik Fatimah untuk mau menurutiku. Fatimah hanya bisa pasrah dan menggeleng dengan kelakuan kekanakanku yang memang sering terjadi. Ku lihat dari kejauhan begitu juga dengan Laki-laki itu, Dia mendesah dan kulihat Dia beristigfar sambil meraih sepedaku dan mulai menjalankanya di arah yang berbeda dari jalan yang kita tempuh.

“Cantika Maharani, Adek cantik yang paling Ku sayangi.”

“Iya Kakak”. Masih tetap menggandeng Fatimah.

“Kau tahu siapa Dia?”

“Calon Imammu Mah?” Aku terkekeh melihat wajah Fatimah yang memerah.

“Huusst, Dia Mas Rizqi, Rizqi Fatkhah.”

“OOOww, Lalu?”

“Dia Ketua Kerohanian Islam.” Fatimah menjelaskan dengan semangat.

'“Terus?” Ku lihat wajah Fatimah yang mulai kesal lucu sekali.


“Iya.. iya.. Pantas kok Mah. Soleh, Ganteng pula.” Aku menjawab seperti yang diinginkan Fatimah.

“Kau Suka?”

“Siapa?”


“Kak Rizqi.”


“Kok bisa?”


“Kok nanya, tadi kan Rani yang bilang Dia Ganteng. Kamu suka orang kaya Dia?”

“Iya, siapa yang gak suka orang semacam Dia. Dhuha saja tidak pernah Dia lewatkan, apa lagi Ibadah yang lainnya. Menurutku orang yang seperti itu ganteng. Ya kan Mah, Dia tipe kamu?” Aku mendesak.

Fatimah datar menanggapi pernyataanku, Aku rasa Dia cemburu. Bagaimana tidak Ku lihat mereka sangat akrab. Aku mengenal orang itu “Rizky Fatkah” tapi baru kali ini Aku mengetahui namanya. Orang yang tidak pernah menyapaku, kini aku mengetahui namanya, dan Dia adalah laki-laki yang temanku sukai. Mereka sangat serasi, keduanya sangat indah dilihat berdampingan. Seorang Laki-laki yang soleh, bersama dengan wanita soleha, saling menjaga. Mendoakan lewat salam, berjabat tanpa bersentuhan, berbicara sepenuhnya dengan adab yang tidak dimiliki oleh banyak remaja kekinian.

“Saya kira..” Fatimah heran.

“Sudah, sudah, kok jadi ngomongin orang gak baik loh Kakak, Ayo Bang Fatkhah pasti sudah kepanasan nunggu. Balapan dong Mah yang menang jadi Istrinya Bang Fatkah.”

Aku berlari kecil meninggalkannya. Tidak mungkin bagi Fatimah untuk berlari, busana muslimnya memang memberikan pembawaan yang anggun. Memang benar akhirnya aku sampai terlebih dulu karena rasa bersalahku. Aku benar-benar tak enak hati, karena baru saja Aku mengenalnya sudah menjadi pelampiasan marahku. Fatimah mengikuti dari belakang dengan nafas yang terengah-engah berusaha berjalan mengikutiku yang setengah berlari.

“Maaf ya Bang. Terima kasih.” Aku meraih setang sepedaku. Dengan cepat Fatkhah mejauhkan tangannya dari tanganku.
“Iya gpp Dik Rara.” Dia tersenyum, bukan padaku melainkan pada Fatimah.
“Maaf ya kak sudah merepotkan. Harap maklum.” Fatimah tersenyum, mereka berdua tersenyum.
Ku rasa mereka benar-benar sedang dilanda asmara. Fakthah rela membawakan sepedaku hanya untuk kembali bertemu dengan Fatimah, begitu juga Fatimah yang rela terengah untuk segera menemui Fatkhah. Aku hanya menggeleng menghormati perasaan mereka, meski sedikit kurang nyaman, rasanya aku menjadi pengganggu muda-mudi yang sepertinya beberapa hari lagi akan melangsungkan akad.
“Mau kemana?” Tanya Fakthah pada Fatimah dengan ramah.”
“Rahasia!!!!”
 “Ayoo cepat Mah, nanti keburu Dhuhur.” Tanpa memberi kesempatan untuk Fatimah menjawab aku memotong percakapan mereka.
Aku memboncengkan Fatimah dengan sepedaku.
Selepas Dhuhur kita memutuskan untuk kembali pulang. Fatimah membawakan barang belanjaan yang cukup banyak, Aku mengayuh sepeda dengan sisa tenaga yang kumiliki, ingin cepat sampai di rumah kos Fatimah yang jaraknya masih lumayan jauh. Tiba-tiba bunyi khas penjual ice cream terdengar Fatimah kebingungan, Aku tertawa karena itu adalah dering ponselku.
“Mah, ambilin HP dong di depan.”
Fatimah menyerahkan handphoneku yang sempat mati dan berbunyi kembali.
“Assalamu alaikum Bang.” Aku menghentikan sepedaku.
“Dimas Ra?” Fatimah penasaran. Aku hanya mengangguk.
“Wa alaikum salam, dimana?”
“Apanya?”
“Posisi.”
“Siapa?”
“Rani.”
“Jalan.”
“Sama?”
“Mbak Mah.”
Ooh, ya sudah. Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam.” Dimas menututup teleponnya.
“Huuft dasar, ga jelas.” Aku menggerutu.

“Sepertinya Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Fatimah mengingatkan.

Tanpa menghiraukan kejadian tadi ku lanjutkan mengayuh sepedaku, dan mampir di warung makan untuk makan siang kami.

“Sampai juga.” Aku menghela nafas panjang.

“Alhamdulillah.” Syukur Fatimah

“Kenapa hilang.?” Tiba-tiba ada yang menarik hidungku.

“Ihh Abang kan pacaran.” Aku cemberut dan memperbaiki posisi hidungku khawatir ada yang bergeser.

“Makanan tuh.” Mata Dimas tertuju pada bungkusan yang ada di tangan Fatimah.

“Kasihin Mah yang punya aku, beliin Aku jus aja ya Bang, wortel campur jeruk, jangan pakai susu.” Fatimah memberikannya pada Dimas.

“Makasih Adek sayang.” Dimas mengacak lembut rambutku yang basah keringat.

“Abang sini aja yaa.” Aku tersenyum dan menarik Fatimah untuk bergegas ke dalam.

===

“Sudah, cantik Ra.” Fatimah memuji.

Aku hanya terdiam, berusaha memastikan diriku di depan cermin. Aku tersenyum melihat keadaanku saat ini, sangat berbeda dari biasanya. Ini adalah hari pertamaku, bersamanya, sesuatu yang membuatku menjadi sangat istimewa, yang kudambakan namun baru hari ini baru dapat dilaksanakan. Berlama-lama ku didepan cermin, bertanya pada diri sendiri siapakah gadis yang ada dibalik cermin itu, sepertinya Aku belum pernah mengenalnya, tetapi Dia menyatu denganku. Siapa lagi kalau bukan bayangku sendiri, Dia tersenyum manis seperti hatiku. Ada yang membucah dalam diriku, entah apa hingga tak kuasa ku menahan haru. Dipeluk erat tubuhku hingga kulihat juga bayang Fatimah yang tersenyum manis memastikan bayang itu adalah diriku.

Hari ini 12 Desember 2015 Aku berhijab.

“Fatimah.” Mataku terasa hangat.

“Iya Adik Cantik.” Fatimah terus memelukku.

“Bantu Aku menjaganya.”

“Tentu.” Akhirnya kami pun larut dalam haru yang menyejukan.

Teringat sekitar masa ku masih kelas dua SMA ada yang membuatku sangat terpukul, bukan patah hati atau semacamnya, tetapi keputusanku mendapatkan penolakan keras oleh orang tuaku terutama Ibuku sendiri. Aku memanglah anak nakal, tak tahu mendapat inspirasi dari mana, Aku mengutarakan keinginanku untuk mengenakan jilbab waktu itu. Mungkin dulu karena malu, bagaimana tidak, Aku mengikuti salah satu Ekstra Kurikuler (Eskul) di sekolah yakni Kerohanian Islam, dimana mereka semua memiliki penampilan yang anggun dan tentunya mereka semua mengenakan jilbab. Bagaimana denganku, saat itu tidak.

Aku sangat beruntung, diberi kesempatan untuk terketuk hatinya mengikuti kegiatan yang ada di Eskul Kerohanian Islam. Aku mendapat keluarga yang baik, dan mendapat lingkungan yang mendukungku untuk menjadi sosok yang lebih baik. Meskipun kekurangan sumbernya adalah diriku sendiri, namun setidaknya dengan mereka, Aku mengenal sesuatu yang istimewa, yang tidak akan didapatkan di pelajaran Matematika dan lainnya. Sesuatu yang istimewa tersebut adalah pembentukan karakter, meski tak sepenuhnya dapat merubah seseorang, dengan kita berkumpul dalam suatu lingkungan yang baik, maka kita akan mengikuti lajunya dan berperan selayaknya mereka yang terdapat dalam lingkungan tersebut.

Waktu itu, niatanku disambut baik oleh Kakak tingkatku, mereka membantuku untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslimah yang telah jelas diterangkan dalam Al Quran.

“Hai Nabi, katakanlah kepada iteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jlbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Kak Fia seorang senior yang sangat penyabar, Ia juga menjadi menti (pementor perempuan) yang membimbingku dengan setiap pertemuan rutin yang diadakan seminggu sekali untuk memberikan sekedar tausiyah, berbagi ilmu agama, dan membahas topik-topik terkini dalam pandangan Islam. Menjelang kelulusannya, Aku mengkomunikasikan niatanku padanya, dan Dia sangat bahagia mendengarkan keinginanku ini. Ia setuju memberikan pakaian seragamnya yang berlengan panjang untuk memudahkanku melaksanakan niatku. Maklum saja, untuk membeli seragam pastinya akan sangat mahal. Aku sangat bahagia dengan bantuan dari Kak Fia tersebut dan sangat tak sabar menunggu kelulusannya agar dapat segera melaksanakan apa yang seharusnya Ku laksanakan.

Sepulang dari sekolah, Aku menunggu Ibuku dari tempat kerjanya, sudah tidak sabar aku ingin bercerita tentang kabar gembira ini. Namun, apa yang terjadi semuanya tidak seperti yang diharapkan. Ibuku menolak keras aku mengenakan jilbab saat itu, meski sudah ku jelaskan sudah tak harus membeli seragam berlengan panjang karena sudah ada Kak Fia yang siap membantu. Nyatanya itu tak membuat hati Ibuku tergerak. Dengan alasan Aku belum mampu istiqomah untuk menjaganya, ditakutkan Aku mengenakan dan melepas jilbabku seenaknya.

Malam itu adalah perenungan yang panjang, malam yang berat. Aku dan sifat kekanakanku membuatku menangis semalaman. Masih teracuni oleh syetan, dalam tangisku Aku mengiyakan apa yang dikatakan Ibuku. Keluarga kami memang tak di backgrouni ilmu agama yang kecukupan, mungkin saat itu Ibuku belum tahu apa yang menjadi kewajiban dari seorang muslimah. Maklum saja, separuh dari keluargaku memiliki keyakinan yang berbeda. Kami menghormati dengan cara mengikuti mereka, memang itu adalah cara yang salah. Tidak ada kata siap dan tidak siap untuk berjilbab, seorang wanita yang mengenakannya meski belum sepenuhnya memenuhi syariat akan lebih baik dibandingkan Ia yang tak memiliki niat sama sekali untuk mengenakannya. Seiring berjalannya waktu akhirnya Ibukupun mengerti dan saat inipun Ia mengenakan jilbab dan menjadi lebih cantik bahkan menyaingi diriku yang lebih muda darinya.

Hari pertamaku dengan jilbab merah mudaku. Aku memberanikan diri untuk memperkenalkan diriku yang baru kepada dunia mulai detik ini. Setelah berpuas di cermin, Fatimah mengajaku keluar untuk melihat bagaimana reaksi dari bumi ketika melihatku saat ini.

“Cantika Maharani.” Dimas menyebut nama lengkapku dengan terheran melihatku.

“Iya Bang.” Aku tersenyum malu.

Dia tak mengacak rambutku seperti biasanya, Dimas hanya duduk menahan dagunya yang panjang dengan kedua tangannya dan tak henti menatapku. Aku tak ingin momen ini terlalu lama terjadi, Aku mengedipkan mataku dengan genit dan memperlihatkan keagresifanku seperti biasa. Ku rebut jus pesananku dan ku minum hingga lupa berdoa. Bila boleh jujur Aku sangat gugup dan salah tingkah, namun kenakalanku menutupi semuanya dan itu berhasil.

“Ternyata Kamu masih Adikku.” Dimas tersenyum.



Related Posts:

  • Seketika Kita saling menyapa. Saling berpuisi seakan mengerti keindahan arti dari tiap bait yang tertulis tentang sebuah kekaguman. Berangan-angan tentang masa depan bersama. Hingga suatu malam.. "Malam ini aku telah melamarnya."… Read More
  • Cup of Coffee 4# CINTA Dosalah aku yang telah terjatuh Hanya dengan mata aku terjerat Hanya dengan suara aku tertipu Aku tidak tahu mengapa Namun aku melihat syurga disana Meski ku tidak tahu tentang kehendak Bolehkan aku berhara… Read More
  • Cup of Coffee 3# PERKENALKAN ! Perkenalkan aku, Seseorang yang mencoba berbeda dari biasanya, Ingin lebih tertunduk, Pada setiap ayat yang menjadi kepastianNya, Bukan menjadi seseorang yang baru, Melainkan menjadi lebih baik dari yang… Read More
  • Puisi Tentang seorang gadis yang mengartikan sebuah genggaman. Berasal dari beberapa puisi yang membuat harinya merona, memberikan harapan kepadanya akan terisinya sela jari dengan jari sang pujangga setelah ikrar atas nama ag… Read More
  • Pengunduran Diri Waktu berputar seperti roda kecil yang menggulung dengan cepat mewakili masa, menyadarkan kita akan hal yang telah dilalui. Tentang dua roda kecil yang mengisi angan dan harapan lalu dan masa depan, mewakili rindu akan ses… Read More

0 comments:

Post a Comment