HARTA BERHARGA
Apa yang kita inginkan
selama hidup di muka bumi? Tentunya adalah sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan
memiliki arti yang sangat luas. Hingga berbagai definisi pun keluar dari para
ahli untuk menjelaskan apa arti dari kebahagiaan itu sendiri. Tersurat oleh tawa
dan air mata, itulah rupa dari bahagia. Bagaikan kata manis yang tak
terdefinisi. Hanya mampu menampakan dirinya tanpa tahu apa yang terjadi
sebenarnya.
Seperti yang kita
ketahui selama ini, manusia mengagungkan harta sebagai sumber kebahagiaan
mereka. Bukan hanya harta semata, melainkan banyak hal lain seperti
kedududukan, kehormatan, pandangan sosial, hingga semua sifat yang dapat
disebut dengan jatuh cinta. Jatuh cinta pada dunia itu lebih tepatnya. Manusia
terkadang lupa akan semua yang telah diberikan untuknya hanyalah sebuah amanah
yang bilamana tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya, dengan kekuasaan
Sang Maha Pemberi tanpa seizin dari Tuannya semua itu akan raib dalam hitungan
detik.
Sesuatu yang mampu
menciptakan tawa terkadang itulah yang kita sebut dengan bahagia, namun
tidaklah sesempit itu untuk mengartikan rasa bahagia. Bukan hanya sesuatu yang
nampak dari lahir, tetapi sesuatu yang sangat dekat dengan hal yang sangat
lembut dalam diri kita sendiri. Yakni hati, karena hati senantiasa jujur pada
diri sendiri apa yang terjadi sesungguhnya di dalam sana. Kita tak dapat
menilai seseorang yang tertawa adalah seorang yang sedang bahagia, sebaliknya
juga seorang yang sedang menangis ialah yang sedang bersedih. Keadaan itu
tidaklah pasti, karena rahasia tentang kebenaran hanyalah pada diri sendiri.
Kebahagiaan mampu kita
bangun dengan rasa syukur atas apa yang telah di amanahkan kepada diri ini.
Nikmat sehat jasmani dan rohani adalah salah satu nikmat yang sangat luar
biasa. Coba bayangkan jika ketika bangun tidur kita merasa pening yang amat
sangat, apakah kita mampu melakukan kegiatan dengan maksimal, misalnya mencari
rezeki untuk mendapatkankan sumber kebahagiaan yang diasumsikan tadi (harta).
Dengan itu, kita tahu apa hakekat dari bahagia itu sendiri dan bagaimana cara
untuk menciptakan bahagia, bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk
orang lain.
Terlahir dari keluarga
biasa, aku mampu melihat indahnya dunia. Latar belakang kami adalah masyarakat
golongan bawah yang tak penting itu bermewah karena bersama adalah hal yang
sangat istimewa. Ayahku adalah seorang buruh tani, berbeda dengan petani, buruh
tani hanyalah orang yang bekerja kepada mereka yang memiliki berhektar-hektar
lahan sawah untuk dirawat. Setiap pagi buta beliau sudah terjaga sebelum Aku
dan Ibuku beranjak dari tempat tidur. Beliau sudah melakukan aktivitas yang
mungkin hanya beberapa Ayah yang melakukannya. Sejak Aku masih kanak-kanak
hingga sekarang masih setia beliau lakukan.
Demi Aku dan Ibuku,
Ayahku tak merasakan hangatnya selimut di pagi dengan cuaca yang menusuk.
Setiap kali ku terbangun, bajunya telah basah setelah mencuci, dan kulihat
disekeliling masih mengepul asap di atas kompor sederhana. Beliau memasak nasi
dan menyiapkan air panas untuk kami mandi. Sosok yang sangat memperhatikan
kami, hingga kebiasaan ini membuat kami tak bisa lepas dari kenyamanan yang
demikian. Setiap kali ku tegur untuk membantu, dengan keras ia melarangku
dengan alasan suasana yang masih dingin, jika ingin membantu nanti jika fajar
telah berada di tempatnya. Namun, apalah daya karena semua itu sudah
terselesaikan sebelum fajar sempat tersenyum.
Dia adalah Ayahku,
sosok yang penyanyang dan tak akan tergantikan. Kasih sayangnya sangat besar,
hingga Ia pun meninggalkan sosok gagahnya untuk menangisiku ketika ku jatuh
sakit. Menangis terharu ketika ku meraih juara dalam suatu kompetisi atau
sekedar peringkat kelas yang menurutku juga tak terlalu bagus. Namun, beliau
tetap bahagia denganku, apa pun keadaanku, dan dengan apa saja yang aku
raih, Ayahku selalu bangga denganku.
Tak berbeda halnya
dengan Ibuku. Beliau wanita yang sangat lemah, hingga saat ku berada jauh di
dekatnya tak habisnya ku berfikir mengenai kesehatannya. Usianya memanglah
masih muda, penampilannya pun bahkan lebih trendy
dari ku. Bahkan tak sedikit yang mengira Beliau adalah Saudara Perempuanku.
Namun, meski Beliau lemah dan tak sekuat Ayahku, Beliau adalah sosok yang
sangat kuat. Dibalik senyum sendunya, Beliau mampu menguatkanku ketika ku mulai
menyerah dengan urusan dunia. Memeluku ketika ku menangis karena ingin
berhenti, dan kembali memapahku agar ku kembali bangkit berdiri hingga ku siap
kembali melangkah hingga berlari. Begitulah luar biasanya Beliau, melahirkan ku
dari rahimnya, yang mana tak mudah mempertahankan kandungan yang mulai
pendarahan dari usia kandungan empat bulan. Beliau berjuang untuk
mempertahankanku, rela untuk menempuh pengobatan rutin seminggu sekali untuk
memperjuangkanku. Hingga ku mampu melihat indahnya dunia dan merasakan pelukan
kasih sayangnya yang mungkin tidak semuanya memiliki kesempatan yang demikian.
Tidak berbeda dengan
Ayahku, Ibuku adalah seorang pekerja di sebuah PT di Kota ku. Aku yakin semua
itu hanyalah untukku. Demi menghidupi kehidupanku Ia rela mengorbankan waktunya
untuk berperan sebagai Ibu dirumah. Beliau memilih untuk tidak berdiam dirumah
untuk kebahagiaanku, yang sejujurnya itu adalah hal yang menyakitkan bagiku.
Rasanya sangat rindu, meski ku berada dirumah aku tak melihat sosoknya selalu
bersamaku. Ingin rasanya setiap waktu, bukan hanya hari Minggu kita
bercengkerama sembari menyiapkan sajian sarapan pagi untuk Ayah sepulang dari
Sawah. Apalah yang terjadi, pukul enam pagi aku hanya bisa mengantarnya sampai
ujung gang dengan harapan dapat mendapatkan kecupannya, dan menunggunya hingga
larut untuk mendapatkan hal yang sama.
Namun, apa lah Aku
untuk menuntut. Begitu cintanya Beliau padaku, Beliau rela untuk melakukan itu.
Yang aku tahu saat ini, hanyalah melakukan apa yang Beliau harapkan. Beliau
hanya menginginkanku untuk mendapatkan pendidikan dengan jenjang yang
setidaknya lebih tinggi darinya. Ibuku hanyalah seorang lulusan sekolah dasar,
namun mimpinya begitu mulia, yakni menjadikanku insan yang berpendidikan dan
tidak merasakan kekecewaan yang Beliau rasakan ketika masa itu, di mana hanya
mampu melihat rekannya yang memakai seragam berbondong menaiki sepedanya
masing-masing untuk pergi ke sekolah menengah, yang saat itu juga Ibuku
melakukan perjalanan yang sama, bukan untuk pergi ke gedung sekolah menengah
yang baru, namun pergi ke sawah dengan harapan mampu mendapatkan sedikit hasil
panen di tempat padinya untuk di bawa menyambung kehidupan sehari-harinya di
gendongan seorang anak gadis yang badanya terlihat lebih kecil ketika
menggendong hasil panen yang tak pernah terisi penuh karena tak kuatnya menahan
beban itu.
Mimpi itu, membuatku
tahu apa yang seharusnya ku lakukan. Pendidikan, mereka menginginkan seorang
anak yang cerdas yang mampu memberikan pencerahan bagi mereka agar mereka mampu
merasakan dan mengulangi masa di mana impian mereka untuk sekolah kini terwujud
dengan adanya aku, yang senantiasa setiap pagi bangun lebih awal, demi membaca
beberapa lembar buku, berpamitan setiap pagi dengan seragam yang cantik untuk
menuntut ilmu, mengetuk pintu dengan wajah yang lusuh di siang hari, dan sibuk
dengan tugasnya di malam hari. Hanya dengan melihat itu, mereka sangat bahagia,
meskipun mereka tidak pernah tahu apa saja yang ku lakukan di luar sana saat
jauh dari mereka.
Ini adalah sebuah
amanah, meski hanya menuntut ilmu. Lihatlah, mereka orang tuaku dan juga orang
tuamu. Berjuang dengan peluh yang seakan mengeluh menandakan betapa lelahnya
diri mereka melakukan semua ini. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha
tersenyum dan selalu tersenyum hingga garis itu membentuk sesuatu yang
permanen, bukan hanya itu saja, lihatlah mereka yang kini tak lagi muda,
ketampanan dan kecantikan yang terpancar dari kilauan mahkota mereka, semakin
lama semakin memudar berganti kilauan putih yang mulai mendominasi bersiap
menggantikan Sang Hitam.
Menjadi anak
satu-satunya berbeda dengan apa yang terpikirkan oleh kebanyakan. Mereka
berfikir menjadi anak semata wayang itu adalah ketika mereka akan menjadi
seorang anak yang sangat di manja dan akan di turuti segala kemauannya.
Memanglah benar seperti itu, namun tak sebagian besar benar, keadaan ekonomi
ini membuatku harus menahan diri untuk menginginkan sesuatu. Semuanya seakan
terhenti di kerongkongan ketika ku ingin mengkomunikasikan sesuatu yang
berhubungan dengan uang. Hingga selembar kertas beralamatkan tempat di mana ku
menuntut ilmu lah yang selalu berbicara kepada mereka, menjelaskan apa yang
terjadi, dan ku lihat raut wajah mereka yang mulai berubah sepulang kerja
melihat beberapa tulisan yang tak genap satu lembar penuh tertulis itu. Helaan
nafas panjang selalu terlihat setelah mereka menyelesaikan setiap tulisan itu.
Harus mampu menahan
diri, untuk keegoisan remaja ku yang membutuhkan banyak kebutuhan yang harus ku
penuhi. Terbilang cukup tidak penting, hingga hanya lembaran kertaas itulah
yang ku rasa yang terpenting. Meskipun keadaan ini tak seperti dibayangkan,
memanglah benar setiap ku minta sesuatu pasti akan selalu terturuti. Namun,
lagi-lagi raut lelah dan lusuh mereka sepulang kerja yang berusaha tertutupi
oleh senyum tulus mereka membuatku menahan diri dan menahan diri. Beruntungnya
diriku memiliki mereka semua, luapan kasih sayang yang bukan hanya bersumber
dari Ayah dan Ibuku membuatku lupa akan inginku yang mengedepankan ego. Semua
seolah merangkulku untuk tetap menjadi pribadi yang sederhana seperti apa yang
biasanya aku sebelumnya. Semua tanggung jawab terlimpah untukku, untuk sebuah
harapan yang mulai mereka susun dengan mengajarkanku hal-hal yang baik. Mejadi
sendiri di dalam keluarga itu berarti siap menjadi sosok laki-laki dan juga
perempuan sekaligus. Amanah ini sangatlah sulit, namun kasih sayang mereka
mengalahkan kesulitan itu hingga ku lupa betapa pedihnya ketika berjuang saat
ku dapat melihat orang yang terkasih di sekitar kita tersenyum dengan apa yang
telah kita peroleh.
Kebahagiaan itu
sederhana, ketika kita mampu membuat orang yang selalu membuat kita bahagia
juga bahagia, kita akan mampu merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Mengingat
kebaikan demi kebaikan orang-orang di sekitarku mampu menciptakan sungai di
sudut mata. Bersyukur adalah kuncinya, rasakan setiap aliran angin yang
mengalir yang membawa dirimu hingga waktu yang saat ini kau nikmati. Setiap
detik berguna untuk mu hingga kau mampu merasakan cinta kasih di sekitarmu
tanpa adanya permintaan untuk mu mengembalikan kebagahiaan yang kau beri untuk
di kembalikan kepada orang yang membuatmu bahagia.
Harta terbesar dalam
hidup adalah bahagia, ketika kita mampu merasakan setiap desir waktu yang
bergulir dengan berjuta senyuman yang telah tercipta, kau akan menyesal dan menangisi betapa kita menjadi
sosok yang jahat dengan tidak mengindahkan apa yang telah Sang Maha Pemberi berikan
kepada kita yang hingga saat ini masih diberikan kesempatan untuk berpijak dan
berdiri dengan topangan tubuh kita. Bukankah Ia sangat baik? Memberikan kesempatan
kepada kita melihat senyum dan merasakan rona bahagia mereka orang-orang
terkasih. Berhentilah menghujat dengan apa yang telah Sang Maha Pencerah
berikan agar kita dapat mengerti betapa indahnya hidup kita. Karena Ia selalu
memberikan kesempatan kepada kita untuk bahagia, hanya sekarang bagaimana dan
apa yang mau kita terima. Bahagia itu adalah pilihan yang akan terealisasi jika
kau berfikir kau akan bahagia. Tidak ada yang menyalahkan jika kau mengeluh,
namun sudah bukan saatnya lagi untuk melakukannya, jika kau menyadari betapa
banyak nikmatNya yang telah kau terima.
Lihatlah pagi ini,
berfikirlah? Bagi kalian yang masih di beri kesempatan untuk bernafas, mungkin
ada yang saat terbangun ia lupa untuk kembali bernafas dan meninggalkan segala
yang ada di dunia. Bagi kalian yang masih di beri kesempatan untuk melihat,
mungkin ada yang ketika terbangun dunia begitu gelap karena suatu kelainan.
Bagi kalian yang masih di beri kesempatan untuk mendengar, mungkin juga saat
ini ada yang baru saja mendapatkan keheningan dalam hidupnya untuk
selama-lamanya yang di sebabkan permasalahan pada pendengarannya. Bangunlah,
dan rapikan segala yang membuat dirimu mengeluh dengan pagi yang dingin.
Basuhlah mukamu dan bersyukurlah, karena semua yang kita miliki ini hanyalah
sementara, bukan sepenuhnya hak kita sehingga kita berbangga dan lupa.
Memiliki paras yang
tampan dan cantik, tak harus kita berpamer dengan membiarkannya tercecer begitu
saja. Jangan pernah engkau lupa siapa yang memberikan segala kebaikan itu.
Berbangga memanglah harus, namun janganlah dengan cara yang salah. Dengan
memperlihatkan diri berlebihan dan menunjukan bahwa paras inilah segalanya
adalah salah. Karena semua itu dapat di ambil dalam waktu kurang satu detik
jika Ia menginginkannya.Sang Maha Kuasa sangat menyukai mereka yang sederhana
senantiasa menjaga apa yang di milikinya bukan untuk menyombongkan diri
alih-alih berbangga. Sama halnya sesuatu yang istimewa akan selalu terjaga
hingga hanya orang-orang tertentulah yang mampu mendapatkan segala keistimewaan
itu.
Apapun yang di miliki
saat ini, hanyalah bagian dari amanah, yang selayaknya kita jaga. Begitupun
bahagia, haruslah terjaga dengan cara mensyukuri apa-apa nikmat yang kita
dapatkan selama hidup kita. Keluarga, cinta, dan semua kehidupan ini adalah
amanah yang hanya menunggu terseleksi untuk dikembalikan satu persatu kepada
Zat yang Maha Kuasa. Jadi sudah menjadi kewajiban kita menjaga dengan cara
bahagia. Bukankah bukanlah hal yang sulit? Meskipun pada kenyataannya masih
sangat sulit untuk melakukannya, tak pernah salah jika kita selalu berusaha
untuk mampu melakukannya. Yakni Bahagia dengan apa yang telah diterima.
JRR
super sekali
ReplyDelete