Thursday, March 3, 2016

TERCATAT



HARTA BERHARGA

Apa yang kita inginkan selama hidup di muka bumi? Tentunya adalah sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan memiliki arti yang sangat luas. Hingga berbagai definisi pun keluar dari para ahli untuk menjelaskan apa arti dari kebahagiaan itu sendiri. Tersurat oleh tawa dan air mata, itulah rupa dari bahagia. Bagaikan kata manis yang tak terdefinisi. Hanya mampu menampakan dirinya tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya.


Seperti yang kita ketahui selama ini, manusia mengagungkan harta sebagai sumber kebahagiaan mereka. Bukan hanya harta semata, melainkan banyak hal lain seperti kedududukan, kehormatan, pandangan sosial, hingga semua sifat yang dapat disebut dengan jatuh cinta. Jatuh cinta pada dunia itu lebih tepatnya. Manusia terkadang lupa akan semua yang telah diberikan untuknya hanyalah sebuah amanah yang bilamana tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya, dengan kekuasaan Sang Maha Pemberi tanpa seizin dari Tuannya semua itu akan raib dalam hitungan detik.

Sesuatu yang mampu menciptakan tawa terkadang itulah yang kita sebut dengan bahagia, namun tidaklah sesempit itu untuk mengartikan rasa bahagia. Bukan hanya sesuatu yang nampak dari lahir, tetapi sesuatu yang sangat dekat dengan hal yang sangat lembut dalam diri kita sendiri. Yakni hati, karena hati senantiasa jujur pada diri sendiri apa yang terjadi sesungguhnya di dalam sana. Kita tak dapat menilai seseorang yang tertawa adalah seorang yang sedang bahagia, sebaliknya juga seorang yang sedang menangis ialah yang sedang bersedih. Keadaan itu tidaklah pasti, karena rahasia tentang kebenaran hanyalah pada diri sendiri.

Kebahagiaan mampu kita bangun dengan rasa syukur atas apa yang telah di amanahkan kepada diri ini. Nikmat sehat jasmani dan rohani adalah salah satu nikmat yang sangat luar biasa. Coba bayangkan jika ketika bangun tidur kita merasa pening yang amat sangat, apakah kita mampu melakukan kegiatan dengan maksimal, misalnya mencari rezeki untuk mendapatkankan sumber kebahagiaan yang diasumsikan tadi (harta). Dengan itu, kita tahu apa hakekat dari bahagia itu sendiri dan bagaimana cara untuk menciptakan bahagia, bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk orang lain.

Terlahir dari keluarga biasa, aku mampu melihat indahnya dunia. Latar belakang kami adalah masyarakat golongan bawah yang tak penting itu bermewah karena bersama adalah hal yang sangat istimewa. Ayahku adalah seorang buruh tani, berbeda dengan petani, buruh tani hanyalah orang yang bekerja kepada mereka yang memiliki berhektar-hektar lahan sawah untuk dirawat. Setiap pagi buta beliau sudah terjaga sebelum Aku dan Ibuku beranjak dari tempat tidur. Beliau sudah melakukan aktivitas yang mungkin hanya beberapa Ayah yang melakukannya. Sejak Aku masih kanak-kanak hingga sekarang masih setia beliau lakukan. 

Demi Aku dan Ibuku, Ayahku tak merasakan hangatnya selimut di pagi dengan cuaca yang menusuk. Setiap kali ku terbangun, bajunya telah basah setelah mencuci, dan kulihat disekeliling masih mengepul asap di atas kompor sederhana. Beliau memasak nasi dan menyiapkan air panas untuk kami mandi. Sosok yang sangat memperhatikan kami, hingga kebiasaan ini membuat kami tak bisa lepas dari kenyamanan yang demikian. Setiap kali ku tegur untuk membantu, dengan keras ia melarangku dengan alasan suasana yang masih dingin, jika ingin membantu nanti jika fajar telah berada di tempatnya. Namun, apalah daya karena semua itu sudah terselesaikan sebelum fajar sempat tersenyum.
Dia adalah Ayahku, sosok yang penyanyang dan tak akan tergantikan. Kasih sayangnya sangat besar, hingga Ia pun meninggalkan sosok gagahnya untuk menangisiku ketika ku jatuh sakit. Menangis terharu ketika ku meraih juara dalam suatu kompetisi atau sekedar peringkat kelas yang menurutku juga tak terlalu bagus. Namun, beliau tetap bahagia denganku, apa pun keadaanku, dan dengan apa saja yang aku raih,  Ayahku selalu bangga denganku.
Tak berbeda halnya dengan Ibuku. Beliau wanita yang sangat lemah, hingga saat ku berada jauh di dekatnya tak habisnya ku berfikir mengenai kesehatannya. Usianya memanglah masih muda, penampilannya pun bahkan lebih trendy dari ku. Bahkan tak sedikit yang mengira Beliau adalah Saudara Perempuanku. Namun, meski Beliau lemah dan tak sekuat Ayahku, Beliau adalah sosok yang sangat kuat. Dibalik senyum sendunya, Beliau mampu menguatkanku ketika ku mulai menyerah dengan urusan dunia. Memeluku ketika ku menangis karena ingin berhenti, dan kembali memapahku agar ku kembali bangkit berdiri hingga ku siap kembali melangkah hingga berlari. Begitulah luar biasanya Beliau, melahirkan ku dari rahimnya, yang mana tak mudah mempertahankan kandungan yang mulai pendarahan dari usia kandungan empat bulan. Beliau berjuang untuk mempertahankanku, rela untuk menempuh pengobatan rutin seminggu sekali untuk memperjuangkanku. Hingga ku mampu melihat indahnya dunia dan merasakan pelukan kasih sayangnya yang mungkin tidak semuanya memiliki kesempatan yang demikian.

Tidak berbeda dengan Ayahku, Ibuku adalah seorang pekerja di sebuah PT di Kota ku. Aku yakin semua itu hanyalah untukku. Demi menghidupi kehidupanku Ia rela mengorbankan waktunya untuk berperan sebagai Ibu dirumah. Beliau memilih untuk tidak berdiam dirumah untuk kebahagiaanku, yang sejujurnya itu adalah hal yang menyakitkan bagiku. Rasanya sangat rindu, meski ku berada dirumah aku tak melihat sosoknya selalu bersamaku. Ingin rasanya setiap waktu, bukan hanya hari Minggu kita bercengkerama sembari menyiapkan sajian sarapan pagi untuk Ayah sepulang dari Sawah. Apalah yang terjadi, pukul enam pagi aku hanya bisa mengantarnya sampai ujung gang dengan harapan dapat mendapatkan kecupannya, dan menunggunya hingga larut untuk mendapatkan hal yang sama. 

Namun, apa lah Aku untuk menuntut. Begitu cintanya Beliau padaku, Beliau rela untuk melakukan itu. Yang aku tahu saat ini, hanyalah melakukan apa yang Beliau harapkan. Beliau hanya menginginkanku untuk mendapatkan pendidikan dengan jenjang yang setidaknya lebih tinggi darinya. Ibuku hanyalah seorang lulusan sekolah dasar, namun mimpinya begitu mulia, yakni menjadikanku insan yang berpendidikan dan tidak merasakan kekecewaan yang Beliau rasakan ketika masa itu, di mana hanya mampu melihat rekannya yang memakai seragam berbondong menaiki sepedanya masing-masing untuk pergi ke sekolah menengah, yang saat itu juga Ibuku melakukan perjalanan yang sama, bukan untuk pergi ke gedung sekolah menengah yang baru, namun pergi ke sawah dengan harapan mampu mendapatkan sedikit hasil panen di tempat padinya untuk di bawa menyambung kehidupan sehari-harinya di gendongan seorang anak gadis yang badanya terlihat lebih kecil ketika menggendong hasil panen yang tak pernah terisi penuh karena tak kuatnya menahan beban itu.

Mimpi itu, membuatku tahu apa yang seharusnya ku lakukan. Pendidikan, mereka menginginkan seorang anak yang cerdas yang mampu memberikan pencerahan bagi mereka agar mereka mampu merasakan dan mengulangi masa di mana impian mereka untuk sekolah kini terwujud dengan adanya aku, yang senantiasa setiap pagi bangun lebih awal, demi membaca beberapa lembar buku, berpamitan setiap pagi dengan seragam yang cantik untuk menuntut ilmu, mengetuk pintu dengan wajah yang lusuh di siang hari, dan sibuk dengan tugasnya di malam hari. Hanya dengan melihat itu, mereka sangat bahagia, meskipun mereka tidak pernah tahu apa saja yang ku lakukan di luar sana saat jauh dari mereka.

Ini adalah sebuah amanah, meski hanya menuntut ilmu. Lihatlah, mereka orang tuaku dan juga orang tuamu. Berjuang dengan peluh yang seakan mengeluh menandakan betapa lelahnya diri mereka melakukan semua ini. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha tersenyum dan selalu tersenyum hingga garis itu membentuk sesuatu yang permanen, bukan hanya itu saja, lihatlah mereka yang kini tak lagi muda, ketampanan dan kecantikan yang terpancar dari kilauan mahkota mereka, semakin lama semakin memudar berganti kilauan putih yang mulai mendominasi bersiap menggantikan Sang Hitam.

Menjadi anak satu-satunya berbeda dengan apa yang terpikirkan oleh kebanyakan. Mereka berfikir menjadi anak semata wayang itu adalah ketika mereka akan menjadi seorang anak yang sangat di manja dan akan di turuti segala kemauannya. Memanglah benar seperti itu, namun tak sebagian besar benar, keadaan ekonomi ini membuatku harus menahan diri untuk menginginkan sesuatu. Semuanya seakan terhenti di kerongkongan ketika ku ingin mengkomunikasikan sesuatu yang berhubungan dengan uang. Hingga selembar kertas beralamatkan tempat di mana ku menuntut ilmu lah yang selalu berbicara kepada mereka, menjelaskan apa yang terjadi, dan ku lihat raut wajah mereka yang mulai berubah sepulang kerja melihat beberapa tulisan yang tak genap satu lembar penuh tertulis itu. Helaan nafas panjang selalu terlihat setelah mereka menyelesaikan setiap tulisan itu. 

Harus mampu menahan diri, untuk keegoisan remaja ku yang membutuhkan banyak kebutuhan yang harus ku penuhi. Terbilang cukup tidak penting, hingga hanya lembaran kertaas itulah yang ku rasa yang terpenting. Meskipun keadaan ini tak seperti dibayangkan, memanglah benar setiap ku minta sesuatu pasti akan selalu terturuti. Namun, lagi-lagi raut lelah dan lusuh mereka sepulang kerja yang berusaha tertutupi oleh senyum tulus mereka membuatku menahan diri dan menahan diri. Beruntungnya diriku memiliki mereka semua, luapan kasih sayang yang bukan hanya bersumber dari Ayah dan Ibuku membuatku lupa akan inginku yang mengedepankan ego. Semua seolah merangkulku untuk tetap menjadi pribadi yang sederhana seperti apa yang biasanya aku sebelumnya. Semua tanggung jawab terlimpah untukku, untuk sebuah harapan yang mulai mereka susun dengan mengajarkanku hal-hal yang baik. Mejadi sendiri di dalam keluarga itu berarti siap menjadi sosok laki-laki dan juga perempuan sekaligus. Amanah ini sangatlah sulit, namun kasih sayang mereka mengalahkan kesulitan itu hingga ku lupa betapa pedihnya ketika berjuang saat ku dapat melihat orang yang terkasih di sekitar kita tersenyum dengan apa yang telah kita peroleh.

Kebahagiaan itu sederhana, ketika kita mampu membuat orang yang selalu membuat kita bahagia juga bahagia, kita akan mampu merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Mengingat kebaikan demi kebaikan orang-orang di sekitarku mampu menciptakan sungai di sudut mata. Bersyukur adalah kuncinya, rasakan setiap aliran angin yang mengalir yang membawa dirimu hingga waktu yang saat ini kau nikmati. Setiap detik berguna untuk mu hingga kau mampu merasakan cinta kasih di sekitarmu tanpa adanya permintaan untuk mu mengembalikan kebagahiaan yang kau beri untuk di kembalikan kepada orang yang membuatmu bahagia.

Harta terbesar dalam hidup adalah bahagia, ketika kita mampu merasakan setiap desir waktu yang bergulir dengan berjuta senyuman yang telah tercipta, kau akan  menyesal dan menangisi betapa kita menjadi sosok yang jahat dengan tidak mengindahkan apa yang telah Sang Maha Pemberi berikan kepada kita yang hingga saat ini masih diberikan kesempatan untuk berpijak dan berdiri dengan topangan tubuh kita. Bukankah Ia sangat baik? Memberikan kesempatan kepada kita melihat senyum dan merasakan rona bahagia mereka orang-orang terkasih. Berhentilah menghujat dengan apa yang telah Sang Maha Pencerah berikan agar kita dapat mengerti betapa indahnya hidup kita. Karena Ia selalu memberikan kesempatan kepada kita untuk bahagia, hanya sekarang bagaimana dan apa yang mau kita terima. Bahagia itu adalah pilihan yang akan terealisasi jika kau berfikir kau akan bahagia. Tidak ada yang menyalahkan jika kau mengeluh, namun sudah bukan saatnya lagi untuk melakukannya, jika kau menyadari betapa banyak nikmatNya yang telah kau terima. 

Lihatlah pagi ini, berfikirlah? Bagi kalian yang masih di beri kesempatan untuk bernafas, mungkin ada yang saat terbangun ia lupa untuk kembali bernafas dan meninggalkan segala yang ada di dunia. Bagi kalian yang masih di beri kesempatan untuk melihat, mungkin ada yang ketika terbangun dunia begitu gelap karena suatu kelainan. Bagi kalian yang masih di beri kesempatan untuk mendengar, mungkin juga saat ini ada yang baru saja mendapatkan keheningan dalam hidupnya untuk selama-lamanya yang di sebabkan permasalahan pada pendengarannya. Bangunlah, dan rapikan segala yang membuat dirimu mengeluh dengan pagi yang dingin. Basuhlah mukamu dan bersyukurlah, karena semua yang kita miliki ini hanyalah sementara, bukan sepenuhnya hak kita sehingga kita berbangga dan lupa.

Memiliki paras yang tampan dan cantik, tak harus kita berpamer dengan membiarkannya tercecer begitu saja. Jangan pernah engkau lupa siapa yang memberikan segala kebaikan itu. Berbangga memanglah harus, namun janganlah dengan cara yang salah. Dengan memperlihatkan diri berlebihan dan menunjukan bahwa paras inilah segalanya adalah salah. Karena semua itu dapat di ambil dalam waktu kurang satu detik jika Ia menginginkannya.Sang Maha Kuasa sangat menyukai mereka yang sederhana senantiasa menjaga apa yang di milikinya bukan untuk menyombongkan diri alih-alih berbangga. Sama halnya sesuatu yang istimewa akan selalu terjaga hingga hanya orang-orang tertentulah yang mampu mendapatkan segala keistimewaan itu.

Apapun yang di miliki saat ini, hanyalah bagian dari amanah, yang selayaknya kita jaga. Begitupun bahagia, haruslah terjaga dengan cara mensyukuri apa-apa nikmat yang kita dapatkan selama hidup kita. Keluarga, cinta, dan semua kehidupan ini adalah amanah yang hanya menunggu terseleksi untuk dikembalikan satu persatu kepada Zat yang Maha Kuasa. Jadi sudah menjadi kewajiban kita menjaga dengan cara bahagia. Bukankah bukanlah hal yang sulit? Meskipun pada kenyataannya masih sangat sulit untuk melakukannya, tak pernah salah jika kita selalu berusaha untuk mampu melakukannya. Yakni Bahagia dengan apa yang telah diterima.

JRR





Related Posts:

  • Cup of Coffee 3# PERKENALKAN ! Perkenalkan aku, Seseorang yang mencoba berbeda dari biasanya, Ingin lebih tertunduk, Pada setiap ayat yang menjadi kepastianNya, Bukan menjadi seseorang yang baru, Melainkan menjadi lebih baik dari yang… Read More
  • Sebuah Kisah (1) Aku rasa aku menyukai seseorang ketika aku masih kelas dua SMP. Dia seseorang yang tidak terlalu terkenal. Dia sangat pendiam, aku tidak pernah satu kelas dengannya. Aku tidak tahu apa yang membuatku menyukainya. Aku selalu … Read More
  • Ketika Wanitaku Menyerah Pada akhirnya Air mata itu menunjukan kepedihannya Di hari pertama semester baru dibangku sekolah dulu, Aku melihat sosok yang berbeda diantara yang lainnya. Mengalihkan pandanganku pada seseorang yang menyita … Read More
  • MIMPI Hariku penuh tidak seperti biasanya. Hingga rindu ini tertuju pada tempat tidurku. Mata ini ingin sekali terlelap, lelah hingga terasa hangat, memerah dan akhirnya mataku tidak bisa berbohong lagi dengan letih. Bismill… Read More
  • Ragu Bertubi pertanyaan menyerangku Bergantian menyerbu keheninganku Hingga aku mengajukan pertanyaan Untukku, untuk sesuatu yang membayangiku Masih kah kau ingin bertahan disitu? Hai ragu, bukankah tempat itu sangat gelap… Read More

1 comment: