Friday, January 22, 2016

Kado Akhir Januari


Disela gerimis, aku masih bisa mendengar suara kembang api yang silih berganti. Malam ini begitu berisik, entah apa yang terjadi diluar sana terdengar sangat ramai dan membosankan. Mungkin memang benar, ini adalah malam tahun baru, semuanya bergembira dan hura-hura. Kecuali, aku sendiri yang selalu tidak bersemangat untuk hari ini karena sebuah trauma. Berada dalam sebuah ruang hangat aku mencoba beristirahat dan mengalihkan diriku dari kebisingan yang tidak pernah ku inginkan.

“Khiki”


Terdengar dering handphoneku yang setelah kulihat bukan sebuah pesan biasa, tetapi berasal dari sosial media. Tertera nama seorang yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Awalnya aku mengabaikannya, namun rasa bosan membuatku tak sadar mulai mencari tahu tentang dirinya. Ternyata dia seseorang yang umurnya tak jauh berbeda dariku, sekitar tiga tahun lebih tua dan ia juga berada satu daerah denganku, yang membuatku tertarik untuk menanggapinya. Dia saat ini adalah seniorku di kampus dan pernah menjadi seniorku juga di sekolah menengah dahulu.

Tak terasa kebosananku cepat berubah menjadi rasa nyaman. Rasa nyaman itu menjadi penasaran dan akhirnya terciptalah pertemuan. Awalnya aku tak memiliki keberanian, rasa percaya diriku terkalahkan oleh rasa takut akan kekecewaan karena kita saling kenal di sosial media. Namun, yang terjadi berbeda kita memiliki rasa yang sama yakni bahagia, ketika kita mengenal seseorang yang berada didekat kita dan sedang berjuang bersama ditempat perantauan. Setidaknya ada seseorang yang bisa diajak untuk berbagi.

Akhir Januari, rumahku tak sepi seperti biasanya, banyak teman yang berkunjung. Hari ulang tahunku memanglah seperti ini, meski tak banyak hadiah namun aku sangat bahagia melihat senyuman mereka temanku yang selalu hadir memberikan tawa untukku. Meski hujan, hari ini terasa sangat hangat di tambah dia orang yang baru kukenal, Ia basah kuyup oleh air hujan demi memberikan bingkisan berwarna merah muda. Liburan yang sangat berkesan, lagi-lagi Januariku adalah hadiah yang tak terlupakan.

Waktu cepat berlalu, kembali dengan rutinitas lama, menuntut ilmu dan kembali berjuang untuk meraih impian. Ditempat itu sudah menunggu seorang yang kukenal di awal ku masuk di bangku kuliah. Dialah yang membimbingku dan menjagaku, lebih dari seorang kakak yang baik. Aku menyayanginya dan diapun menyayangiku, bahkan banyak yang mengira kita adalah sepasang kekasih yang pada kenyataan bukan, meskipun aku sedikit mengarapkan.

Kado terindah setelah ku diterima di kampus tercinta, dia yang selalu mengunjungiku setiap akhir pekan. Senyumannya membuatku sangat nyaman, seorang yang tak pernah marah maupun kecewa padaku meski aku membuat beribu kesalahan. Namun, untuk semester ini sepertinya intesitas untuk bertemu berkurang. Kesibukan mahasiswa tingkat atas, membuatku harus menahan rasa rindu beberapa waktu, menunggu waktu yang tepat untuk bertemu.

Berputar, putar bagaikan roda yang menggerakan bumi mengubah waktu. Semua berjalan perlahan dan terasa sangat menyakitkan. Kedua orang yang kusayang perlahan menghilang dari kehidupanku dan membuatku merasa kesepian. Rama, dia yang membuat Januariku berbeda, dan Dimas adalah seorang yang ku anggap lebih dari seorang kakak. Mereka sibuk dengan tugas akhir mereka, pantas saja karena saat ini aku pun menjadi seorang mahasiswa tingkat atas. Bukan itu yang membuatku bersedih, hal itu mampu ku mengerti, namun janji mereka yang tak pernah ku pahami. Mereka menghilang dengan janji masing-masing.

Dimas menghilang setelah mampu membuatku menjadi goncang karena kata-kata yang tak pernah terduga. Kamu adalah sebuah harapan, dan tak akan mengajakmu pacaran, tinggalkan aku jika aku membujukmu, semoga kita dipertemukan. Kata yang saat itu membuatku terharu bahagia dan hanya tersenyum tak mampu menjawabnya, karena ku tahu dia adalah seorang yang religius. Namun, setelah kata itu, tak pernah ada pertemuan, hubungan kita semakin renggang, meski tetap terjalin komunikasi.

Tak berbeda dengan Rama, Ia memang jarang menghubungiku. Namun, Ia selalu mampu memberikanku kejutan-kejutan yang tak pernah ku dapatkan. Tanpa membuat janji Ia sudah berada di depan pintu dan siap mengajaku pergi kemana saja ke tempat yang belum pernah ku kunjungi, ataupun sekedar berbagi keluh kesah selama menjalani kuliah. Memang ciri khasnya seperti itu. Setelah lama tak bertemu dan berkomunikasi, teman satu rumah kos denganku memanggilku, Ia menyuruhku untuk menemui seseorang yang mencariku.

Seperti yang kuduga, Rama sudah berada didepan pintu. Penampilannya begitu berbeda, dia menjadi sangat rapi. Dulu dia adalah seorang dengan penampilan urakan, meskipun begitu aku tahu dia adalah orang yang baik. Malam itu terasa sangat indah, kerinduanku seakan terpecah, namun, hatiku juga terasa pecah ketika sampai di suatu tempat. Pilihlah sebuah pakaian, dan berjanjilah kau akan mengenakannya dihari pernikahanku. Rasanya sama sakitnya ketika tak mendapatkan kabar dari Dimas. Ingin ku menangis mengapa secepat ini, bahkan dia belum menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswa. Namun, bagaimana lagi aku tak mungkin menangis, selain malu aku sadar aku ini siapa dan tak berhak untuk menuntut sesuatu dari mereka.

Sepulangnya dari tempat itu, ku ambil kebaya merah indah yang tadi ku pilih. Sudah tak ada lagi rasa sedih seperti tadi. Bahkan aku senang sekarang memiliki kebaya indah. Namun, pikiranku menolak keras untuk membayangkan gaun ini kupakai untuk menghadiri pernikahan Rama nanti.

Satu, tahun berlalu. Tak pernah ada kabar dari mereka. Sudah dua kali wisuda tak ku lihat mereka berdua wisuda. Sesekali ku melihat sosial media untuk memastikannya, mereka tak pernah memunculkan tanda-tanda  telah di wisuda. Saat ku sedang bertanya-tanya tiba-tiba dering ponsel lagi-lagi mengagetkanku dari pikiran-pikiran yang tidak jelas.

”Assalamu alaikum, Dik, besok Abang Wisuda. Dandan yang cantik ya ;)”

Pesan yang sangat ku kenal, setelah sekian lama akhirnya Dimas menghubungiku dengan kabar gembira. Meski ada rasa kecewa, namun aku ikut bahagia dengan kabar yang berikan kepadaku. Aku juga tak sabar, menunggu pesan dari Rama untuk kabar gembira yang sama, namun hingga larut tak ada pesan darinya. Mungkin besok ia akan mengabariku. Pikirku menenangkan diriku sendiri agar bisa terlelap. Ritual yang selalu kulakukan setiap malam upacara wisuda, menunggu dua orang yang ku sayang untuk memberikan kabar gembira, yang kini akhirnya ku dengar dari salah satunya.

Pagi yang bahagia, rumah kosku ramai dengan kakak tingkat yang sedang mempercantik diri untuk dapat tampil istimewa di upacara wisuda. Begitu juga di sosial media semua bertemakan wisuda, kecuali Rama yang lama tak terlihat diberanda, tak berbicara tentang wisuda malah membicarakan tentang wanita. Jadilah wanita yang cerdas. Tulisan itu membuatku memiliki dua pemikiran entah buruk atau bagus, yang pertama ku pikir ia sudah memiliki kekasih hingga ia berhenti menghubungiku untuk menjaga hatinya, aku memakluminya, dan yang kedua mungkin dia belum wisuda.

Untuk pertama kalinya, ku berada di tempat ini dengan suasana yang berbeda. Tempat ini berubah menjadi sangat ramai, halaman luasnya terparkir berpuluh-puluh mobil, dan didepan gedung terdapat ribuan orang. Berumur dibawah tahun, bahkan ada yang paru baya, mereka adalah sanak saudara dari mereka yang saat ini mengenakan kebaya dan jas yang ditutup oleh toga wisuda. Senyum terpancar dari semua pihak, termasuk aku yang akhirnya menemukan rombongan keluarga yang sedang berfoto bersama. Disana terdapat Dimas yang sudah dari kejauhan melihatku, dan melambaikan tangan memberikan petunjuk bahwa Ia berada disana dan tersenyum melihat souvenir khas wisuda yang sedang Ku bawa.

Sesampainya di tempat itu, Ku salami satu per satu anggota keluargannya. Mereka sangat ramah padaku, dan bahkan sudah menyebut aku sebagai saudara perempuan dari Dimas yang seketika itu membuat pipiku memerah hingga Dimas pun menyadarinya dan mengajaku ke suatu tempat menjauh dari keluarganya. Aku pun menyerahkan hadiahku untuknya dan mengucapkan selamat padanya, tanpa ku duga satu tangkai mawar merah berada di depanku dan mengisyaratkan untuk kuambil. Dengan tersenyum Dimas memberikannya, ini adalah permintaanku, satu tangkai mawar merah, cukup satu tangkai di hari wisudaku. Meski ini bukan wisudaku aku sangat terkesan.

Tak selang berapa lama, segerombolan orang dengan pakaian yang sama dengan Dimas mendekat dan membuat keributan. Mereka menggoda kami, dan menganggap kami adalah seorang kekasih. Pipi kami memerah dengan godaan yang tak henti. Kebahagiaan sangat terpancar diwajah mereka, ku tahu dari senyum yang sangat nyata.

Dalam riuhnya, kebahagiaan rekan-rekan Dimas. Ku mulai beranjak dari keramaian, rasanya tidak ingin ku mengganggu kebahagiaan mereka. Tidak jauh dari tempatku, ku lihat Rama yang juga menggunakan toga wisuda. Disana ramai juga oleh keluarga dan rekanya. Ia tak melihatku sama sekali meski lama ku melihat ke arahnya. Tanpa sadar ku tersenyum dan mereasa sangat lega, akhirnya ku melihatnya telah diwisuda. Baru beberapa jarak langkah kakiku ingin mendekat ke arahnya. Ku lihat wanita cantik yang tiba-tiba menggandengnya. Wanita itu jauh sekali dengan diriku, terlihat sangat anggun dan kekinian. Diakah calon istrinya. Dalam hatiku terus bertanya seperti itu dan membawa kakiku kembali mendekat ke Dimas yang masih sibuk dengan teman-temannya.

Malam harinya, ku penuhi janjiku untuk mengikuti acara makan malam Dimas disebuah rumah makan sekitar kampus. Pujian yang mereka berikan di sela-sela percakapan mampu membuatku sesaat tersipu. Mereka menggodaku dengan Dimas yang saat ini duduk jauh dari tempatku. Aku memilih duduk disamping Ibunya yang memaksaku untuk tetap berada didekatnya. Menanggapi kericuhan yang terjadi, Dimas mulai berbicara. Dia mengenalkanku kepada keluarganya, menceritakan semua tentangku bahkan yang tak pernah ku sadari, dan saat itu tubuhku menjadi gemetar karena grogi. Perasaan santai sudah berubah, tanganku menjadi dingin, pipiku mulai merona dan hanya bisa terdiam. Hari yang bahagia untuk mereka berdua. Bagaimana denganku? Mungkin iya, mungkin tidak.

Hari yang bahagia untuk mereka berdua. Kira-kira itu terjadi satu tahun yang lalu. Kini aku yang merasakannya. Setelahku kehilangan kedua orang yang kusayang setelah hari itu. Besok aku akan menjadi tokoh utama dalam acara itu. Mengenang satu tahun yang lalu, malam dimana hari bahagia itu sudah terlewati.

“Terima kasih, atas doanya khiki.”

Pesan dari Rama yang sontak membuatku menangis, aku tidak tahu apa sebab yang jelas mengapa aku menangis. Rasanya juga bukan karena Rama dan kekasihnya, karena aku pun sadar wajar baginya untuk memiliki seorang kekasih. Mungkin juga karena Dimas yang sudah membuatku terharu dengan mengenalkanku kepada keluarganya secara terbuka hingga membuatku tersipu. Aku sendiri pun bertanya tanpa membalas pesan itu, ini adalah air mata haru ataupun duka. Nyatanya aku pun tak mengerti.

Nyatanya yang membuatku menangis adalah hari ini, kebahagiaan mereka Dimas dan Rama yang membuatku menangis. Sekarang aku benar-benar kehilangan kedua orang yang ku sayang. Mereka sudah tak lagi berada disampingku, kini sudah tak ada lagi Dimas yang senantiasa menasihatiku dan menghiburku dengan sabar. Tidak ada lagi seorang Rama yang membuatku ceria. Meski hari ini adalah hari bahagia, jika egoku boleh mengkungkapkan beberapa kata, Hari ini adalah hari sangat sepi dan menyakitkan.

Mengenang kejadian itu membuatku kembali merindukan kedua sosok itu, bertanya-tanya kemana perginya mereka. Dulu mereka berdua berjanji untuk datang ke upacara wisuda dan berjanji membawakan bunga karena aku memintanya. Setelah hari itu, tak ada satupun kabar ku terima dari mereka. Kini aku tak mengharapkan apa-apa, karena kesedihanku semakin berlipat karena esok keluargakupun tidak bisa hadir dikarenakan ada suatu acara yang mendadak.

Tak terasa malam lelah sudah berlalu, hari ini sudah pagi. Tidak seperti upacara wisuda lainnya, pagi ini masih sepi, tidak ada yang mengantri mandi. Mungkin karena aku lulus lebih cepat dari yang lainnya, dan untuk wisuda periode ini juga tidak banyak mahasiswa yang mendapat kesempatan yang sama untuk dapat diwisuda diperiode ini untuk mahasiswa yang seangkatan denganku.

Rekan sekamarku sempat memarahiku karena aku terlalu santai, bahkan aku tidak menyiapkan apa-apa untuk wisudaku, tidak membeli kebaya ataupun menyewa kebaya dan perias untuk ku pakai hari ini. Pikirku, aku memiliki kebaya pemberian yang hanya kusimpan di lemari, mungkin juga Si pemberi sudah menikah, karena sudah satu tahun tidak ada kabar darinya, serta tidak ada satu undanganpun yang kuterima. Mungkin Ia sudah lupa.

Selesai mandi, perlahan ku kenakan kebaya merah pemberian Rama yang masih dalam posisi yang sama dibantu oleh rekan sekamarku yang sangat sabar membantukku mengenakannya. Bahkan Ia menahanku untuk tetap berada di kamar sebelum ia selesai meriasku. Ia memang mahir merias, perlengkapan riasnya pun lengkap tidak sepertiku yang berniat berangkat tanpa makeup sedikitpun.

“Waw, Kamu sangat cantik Khiki.”

Dia memuji hasil karyanya sendiri aku kira. Ku mulai kenakan toga wisudaku dan berkaca. Aku lulus. Hatiku menjadi berbunga setelah bercermin dan berkata dalam hati, resahku seolah hilang dan sejenak mampu lupakan kesedihan yang ku takutkan di hari ini. Kembali menjadi diriku yang sebelumnya, aku kembali ceria dan menikmati hari ini. Lagi-lagi, hari ini adalah hari yang bahagia. Untukku saja.

Semua menjadi tak beraturan setelah upacara wisuda dinyatakan selesai. Semua berdesakan merangsek keluar terlebih dahulu. Mereka sangat penasaran dan ingin segera bertemu orang-orang yang datang di hari ini. Sama denganku, yang berbeda aku juga ingin bertemu mereka, namun tanpa rasa penasaran, karena aku sudah tahu, keluargaku tak akan datang ke upacara wisudaku.

Setelah sekian lama berjuang, akhirnya aku mampu keluar dari keramaian. Tiba-tiba ada segerombolan manusia alay yang bergantian memeluku dan memberikan selamat. Mereka teman satu rumah kos denganku, ku kira mereka tidak peduli karena tidak ada satupun yang terbangun ketika ku bersiap siap seperti yang sudah-sudah. Aku sangat terharu namun tak sampai menangis, karena rekan satu kamarku memberiku tatapan penuh ancaman, yang mengisyaratkan jangan pernah untuk menodai karyanya dengan meneteskan air mata sedikitpun.

Rasa syukur bertubi-tubi ku panjatkan, mungkin sudah ribuan senyum ku tebarkan untuk menit-menit ini. Aku sangat bahagia saat ini, silih berganti memberikan selamat, teman sekelas hingga rekan satu organisasi mereka antusias mendokumentasikan momen wisudaku dengan berfoto bersama. Bukan hanya satu tangkai mawar, namun banyak sekali bunga dan hadiah yang ku terima hari ini.Ternyata saat ini aku salah, karena merekapun peduli denganku, bukan hanya mereka yang saat ini meninggalkanku seenaknya.

Hanya beberapa menit saja, setelah itu kembali sepi. Mereka meninggalkanku begitu saja karena acara mereka masing-masing, dari kuliah hingga rapat, mereka meninggalkanku dengan kata maaf. Meskipun sepi, rasanya kebahagiaanku tak hilang seiring dengan menghilangnya mereka dari hadapanku.

Saat ku memutuskan untuk kembali ke rumah kos, ku lihat seseorang yang tak asing mendekat kearahku. Bukan hanya satu tapi dua, dengan setangkai mawar merah di tangannya.


“Selamat Dik,”
Dimas memberikan setangkai mawar merah kepadaku dan tersenyum seperti biasa. Rasanya aku ingin meneriakinya sekeras-kerasnya, karena meninggalkanku tanpa kabar sama sekali. Lagi-lagi aku memaafkannya untuk kesekian kalinya, hanya tersipu yang aku lakukan kala didepannya. Belum sempat menceritakan kebahagiaan hari ini. Ia memperkenalkan seseorang disebelahnya. Dia seseorang yang sangat cantik, anggun, dan sholeha. Dengan pakaian yang serba tertutup senyumannya sangat menenangkan dan menyejukan setiap mata yang melihatnya.

”Dia adalah Istriku”

Senyuman bahagiaku seketika menjadi senyuman yang sangat aneh. Energiku untuk bercerita seakan turun dari level atas ke level dimana mendekati game over. Aku bingung saat itu hanya bisa menuruti pinta mereka untuk mengantarkan aku pulang ke rumah kos. Tanpa kata, diperjalanan aku hanya terdiam dan berfikir. Harusnya aku menangis. Tersenyum sendiri aku mendengar pertanyaan hatiku yang demikian. Hingga Istri Dimas terlihat kebingungan melihat tingkahku yang sangat aneh itu. Lagi-lagi ada orang yang berpamitan untuk menghadiri sebuah acara.

Melelahkan, namun mengesankan, itulah hari ini. Inikah yang disebut dengan cinta, dimana ada seseorang yang kita anggap sebagai seseorang yang kita sayang bersanding dengan seseorang yang pantas hanya ada rasa bahagia. Apa inilah cinta seorang Adik kepada Kakaknya. Tidak ada rasa sedih sama sekali, hanya kecewa karena Ia menghilang tanpa kabar. Namun, bahagia setelah mendapat kabar yang tak pernah terfikir sebelummnya.

Baru selesai ku melepas toga wisudaku dan kembali bercermin dengan kebaya merah yang ku pakai. Kembali tersenyum sendiri melihat bayangan ku dicerimin. Lalu kapan kamu menikah khi?
Seseorang mengagetkanku dari lamunan, seperti biasa rekan satu kamarku memanggilku dengan sangat keras untuk segera ke depan menemui seseorang yang sedang mencariku. Tanpa berganti pakaian dan masih menggunakan kebaya lengkap dengan riasan sisa wisuda, aku menemui orang yang dimaksud.

Rama, dialah yang saat ini berada di depan pintu rumah kosku. Dengan setelan jas rapi ia mengajaku menaiki mobilnya. Tanpa seizin ku Ia mengajaku pulang ke kampong halaman untuk menghadiri acaranya. Aku hanya terdiam, entah mengapa kebahagiaan yang tadi kurasakan seolah berubah menjadi beku seketika melihat kehadirannya yang ku kira pasti akan membawakan berita yang akan membuatku menangis. Hatiku ingin sekali menanyakan pertanyaan yang tertahan oleh bibirku.

“Bang, apa kamu akan menikah?”

Akhirnya, pertanyaan itu mampu terucap oleh bibirku. Rama hanya bereaksi mengangguk dan tersenyum dengan tetap menyetir mobilnya yang dipacu secara perlahan. Es yang tadi beku rasanya mencair dan mengalir di sela mataku. Semuanya tanpa ku sadari hingga akhirnya aku pun terisak dan meluapkan apa yang sudah terpendam selama ini.

“Kenapa hari ini banyak orang yang menikah?”

“Aku tak ingin menghadiri pesta pernikahanmu.”

“Ini terlalu lama, kau menyakiti pengantin wanitamu jika membuatnya menunggu lama hanya untuk menjemputku.”

Hatiku sudah teracuni oleh emosi, aku membenci diriku saat itu. Hari ini untuk pertama kalinya aku menangis di hadapan seorang laki-laki. Rama menghentikan mobilnya perlahan dan mulai menengkanku.

“Khiki, kau sudah berjanji akan menghadiri pesta pernikahanku.”

“Kau pun saat ini sedang mengenakan kebaya pemberianku.”

“Aku kira, khiki yang ku kenal tidak pernah mengingkari janjinya.”

Peryataan itu membuatku diam dan tertunduk, hanya tersisa isak yang mulai melambat. Kini merasa bersalah telah memaki Rama yang sudah berusaha untuk menjemputku agar aku dapat menghadiri pesta pernikahannya. Tak terasa lima jam sudah berlalu, tangisku membuatku mengantuk dan tidur di perjalanan hingga senyenyak ini. Namun, bukan gedung resepsi tempat ku berhenti.

Wajahku sangat terlihat buruk saat ku coba melihat diriku dispion. Aku segera membersikan segala hasil ulahku yang membuat hasil karya rekan kamarku hancur oleh tangis kekanakanku. Ku lihat Ibuku keluar dari ruangan dan menyambutku setelah keluar dari mobil. Semua orang memberikan ucapan selamat, Ibuku memeluku erat dan mengangis sembari memberikan ucapan selamat. Ternyata wisudaku belum selesai. Aku mulai dapat tersenyum kembali.

Kantor Urusan Agama tempatku berada disini, aku mengikuti Rama untuk melihat prosesi akad nikahnya. Dengan rasa penasaran aku masuk ke dalam ruangan. Ku lihat Pak Penghulu sudah berada dalam posisinya. Ayah dari Rama pun sudah duduk didekat Pak Penghulu. Aku masih mencari seseorang dengan gaun cantik, namun tidak ada seorangpun. Mataku tak mau berhenti seolah bersemangat mencari pengantin wanita dari Rama.

Suara laki-laki yang sangat ku kenal memanggilku, bersumber dari sekitar Pak Penghulu. Ternyata dia adalah Ayahku yang saat ini duduk tak jauh dari penghulu dan memintaku untuk duduk disampinya, didekat Rama. Seketika itu aku sangat bingung dan hatiku berdegub sangat kencang, tubuhku gemetar tak terkendali masih bingun dengan keadaan ini.

“Calon Istriku sudah siap Pak, bisa dimulai sekarang.”

Rama tersenyum kepadaku, begitu pula Dimas yang juga berada diruang yang sama. Bedanya Dimas sedang berdiri melihatku, dan Rama siap untuk mengucapkan ikrar untuk menjadikanku halal baginya. Haru.. itu yang kurasa aku tak dapat sembunyikan senyum dan tangis bahagia.
Sangat cepat, aku sudah menjadi Istri dari seorang Rama yang menghilang dan tak pernah memberikan kabar. Seorang yang kukagumi dan terjawab sudah apa makna sebenarnya dari kekagumamku kepadanya. Dia adalah lelakiku, yang akan membimbingku untuk meraih RidhaNya untuk tetap berada dijalanNya.

Setelah melangsungkan akad nikah, datanglah beberapa orang yang mengajaku ke sebuah ruang untuk berganti pakaian. Kebaya putih indah nan anggun mengubahku menjadi seorang ratu dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Riasan dan hiasan jilbab yang ku kenakan saat ini tidak sesederhana saat upacara wisuda tadi.

Saat ini aku belum percaya dengan apa yang terjadi di hari ini, khususnya untuk jam-jam terakhir ini. Hingga sesampainya dirumah, aku kembali terkejut dengan datannya semua rekanku yang tadi tiba – tiba menghilang saat wisudaku. Ternyata alasan mereka meninggalkanku untuk sebuah acara, yakni acara pernikahanku. Begitu pula orang tuaku mereka tak menghadiri wisudaku untuk mempersiapkan pernikahanku.

Semuanya memberikan selamat padaku. Dimas dan Istrinya pun dengan bahagia memberikan hadiah dan ucapan selamat yang membuatku sangat bahagia. Masing-masing dari rekan dekatku memberikan dua hadiah untukku termasuk Dimas, keduanya bertuliskan kata-kata petunjuk yang lucu. Salah satunya bertuliskan Hadiah Pernikahan, dan yang kedua adalah Hadiah Ulang tahun. Hari ini memanglah hari ulang tahunku.

Tertuliskan Dimas ku temukan di sela Al Quran hadiah pernikahan darinya.

Assalamu alaikum, Adindaku Rizki Romadona,
Abangmu ingin bercerita, dengarkan dengan seksama dan jangan ngantuk!!

Baris pertama yang membuatku tersenyum sendiri.

Adinda, ada seseorang yang sangat ku sayangi, dan pernah berfikir Dialah jodohku, aku sangat menyanginya hingga aku takut kehilangannya. Aku tak bisa jauh darinya dan selalu berupaya agar aku tetap berada didekatnya, hingga ada seseorang yang menyadarkanku bahwa itu bukanlah rasa sayang apa lagi Cinta. Dia sahabatku yang sedang gundah karena seorang wanita, Ia menceritakan bahwa Ia telah jatuh cinta dan ingin segera memilikinya. Dia memintaku untuk membantunya menemui orang tuanya sekedar bersilaturahim bercerita mengungkapkan isi hatinya. Dengan berani Ia berjanji akan menikahi wanita itu, setelah ia memantaskan diri untuk dirinya. Disitu aku mulai tersadar bahwa cinta memang tak selalu bersama. Ia datang bagai misteri yang tak pernah diketahui. Kebersamaan bahkan mampu membawanya pergi. Pria itu mengajarkkanku bahwa menjaga seorang wanita tidaklah dengan cara selalu ada didekatnnya. Karena doa ternyata lebih tinggi derajatnya untuk menjaga dan selalu menghormatinya.

Dan tahu tidak Adinda, setelah ku kunjungi rumah wanita yang dimaksud oleh sahabatku. Rasanya sangat kaget kala aku tahu bahwa kita menyayangi orang yang sama. Dan hari itu juga aku tersadar, aku benar-benar tak pantas untuk wanita itu. Keberanian, dan keseriusannya membuatku tahu bahwa cintanya jauh lebih besar dibandingkan denganku yang hanya mampu menodai kehormatan wanita itu dengan terus bersamanya mengajaknya untuk berbagi rasa rindu dan kusadari yang kudapat hanyalah maksiat.

Hatiku masih dipenuhi oleh syetan, meski aku tersadar aku tetap ingin tahu apakah wanitaku itu juga memilihnya untuk pendampingnya. Hingga akhirnya ku berhenti ketika ada seorang wanita yang kini menjadi istriku, tanpa sadar aku melakukan hal yang sama yang di lakukan sahabatku. Yakni memilikinya dengan cara menikahinya.

Adinda, kau tahu sosok laki-laki yang aku ceritakan. Dialah suamimu, yang senantiasa meminta nasehatmu untuk menahan diri tidak menemui wanita itu, yang senantiasa menanyakan kabarnya dari rekan satu kamarnya, dan senantiasa mendoakannya hdalam setiap sujudnya. Iya, kau pasti tahu sosok wanita itu adalah dirimu Adinda, kita mengharapkan wanita yang sama. Bedanya, begitu besar rasa suamimu hingga tanpa sadar aku mengundurkan diri.

Aku semakin yakin, saat wisudaku. Aku memperhatikanmu diam-diam yang sedang memperhatikan Suamimu dari kejauhan. Matamu tak dapat berbohong dengan rindu dan kebahagiaan yang selalu kau berikan kepada semua orang yang mengecewakanmu, karena telah lama meninggalkanmu sendirian. Namun, tatapan ini beda. Ku melihat kamu mengurungkan diri untuk pergi ke sana karena seorang wanita. Kau sangat lucu dulu, cemburu dengan adik kandung suamimu. Dan disitu aku kembali diyakinkan oleh kedua pasangan ini, bahwa kalian memang telah terikat, tanpa ada yang terpikat. Rasa cinta kalian suci, ikatan kalian didasarkan dari sebuah kebutuhan, bukanlah keinginan.

Kebutuhan untuk selalu bersama dan berbagi, lebih dari sekedar bercanda di setiap akhir pekan dan berbagi tawa. Namun, untuk berbagi selamanya hingga di akhirat sana. Aku sangat bangga kepada adikku ini, dia yang sangat ceria mampu menjaga hatinya untuk seorang Ikhwan yang senantiasa menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa cintanya. Hatinya tak pernah goyah meski kamu sendiri tak tahu apa jawaban waktu selanjutnya. Kamu masih berada di tempat yang sama menunggu kehadirannya menggungkap cintanya.

Terima kasih Adinda, tetaplah jadi adikku yang ceria dan mengajarkanku banyak hal yang luar biasa.

Tertanda,
Abang Dimas

Hanya mampu terdiam dan menitikan air mata, betapa bahagianya ku memiliki kedua orang yang sangat kusayangi. Mereka sangat memperdulikanku dan memperhatikanku. Hingga pelukan seseorang membuatku menghapus air mataku perlahan dan memberikan surat ini untuk dia baca. Perlahan ia membacanya sembari menghabiskan kopi panas buat. Hangat tangannya mengisi sela jariku, hingga pagi yang disambut dengan rintik hujan tak lagi dingin menusuk, hanyalah sejuk bagai pagi dengan jutaan tetes embun.

"Terima kasih, Abang Rama."


Jimmi Rizki Romahdona







Related Posts:

  • RINDU 3# Beribu pertanyaan membuncah Untuk setiap kenangan Diantara waktu yang telah terlalui Banyak yang telah terukir dalam memori Terlihat dari kejauhan Bayangan yang tidak pernah dapat ku gapai Kegagalan dalam pengundura… Read More
  • Masa Biru Muda Masa Biru Muda Senyum menjadi berbeda kala kita tak lagi di tempat yang sama, buah dari perjuanganterasa saat ini. Semuanya berubah namun kurasa sama saja, kalian temanku kalian keluargaku. 18 Januari 2015 pukul 11:… Read More
  • RINDU Tentang rindu yang berlebihan Mengancam diri dan merupakan sebuah pelanggaran Sumber dosa pengancam iman Memenuhi sisi hati yang mengalami kekosongan Dosakah mata ini? Menatap rindu dari kejauhan Mengatup ketika di … Read More
  • RINDU 2# Ada keriuhan di belakang sana Sepertinya sedang diadakan pesta Namun tubuh ini enggan mendekati Karena hati sedang dalam pengunduran diri Sayup terdengar sebuah nama Menghentikan sistem laju kerja otak Berulang hingga dap… Read More
  • Nyanyian Malam Malam, bernyanyilah untukku Hibur aku dalam keterjagaan Tahan aku dari kesenduan Bawalah aku pergi dari kesepian Hujan, bawakan lagu untukku Izinkan aku bersendandung denganmu Biarkan aku tertawa dengan keterjaga… Read More

0 comments:

Post a Comment