Disela gerimis, aku masih bisa mendengar suara
kembang api yang silih berganti. Malam ini begitu berisik, entah apa yang
terjadi diluar sana terdengar sangat ramai dan membosankan. Mungkin memang
benar, ini adalah malam tahun baru, semuanya bergembira dan hura-hura. Kecuali,
aku sendiri yang selalu tidak bersemangat untuk hari ini karena sebuah trauma. Berada
dalam sebuah ruang hangat aku mencoba beristirahat dan mengalihkan diriku dari
kebisingan yang tidak pernah ku inginkan.
“Khiki”
Terdengar dering handphoneku yang setelah kulihat
bukan sebuah pesan biasa, tetapi berasal dari sosial media. Tertera nama
seorang yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Awalnya aku mengabaikannya, namun
rasa bosan membuatku tak sadar mulai mencari tahu tentang dirinya. Ternyata dia
seseorang yang umurnya tak jauh berbeda dariku, sekitar tiga tahun lebih tua
dan ia juga berada satu daerah denganku, yang membuatku tertarik untuk
menanggapinya. Dia saat ini adalah seniorku di kampus dan pernah menjadi
seniorku juga di sekolah menengah dahulu.
Tak terasa kebosananku cepat berubah menjadi rasa
nyaman. Rasa nyaman itu menjadi penasaran dan akhirnya terciptalah pertemuan.
Awalnya aku tak memiliki keberanian, rasa percaya diriku terkalahkan oleh rasa
takut akan kekecewaan karena kita saling kenal di sosial media. Namun, yang
terjadi berbeda kita memiliki rasa yang sama yakni bahagia, ketika kita mengenal
seseorang yang berada didekat kita dan sedang berjuang bersama ditempat perantauan.
Setidaknya ada seseorang yang bisa diajak untuk berbagi.
Akhir Januari, rumahku tak sepi seperti biasanya,
banyak teman yang berkunjung. Hari ulang tahunku memanglah seperti ini, meski
tak banyak hadiah namun aku sangat bahagia melihat senyuman mereka temanku yang
selalu hadir memberikan tawa untukku. Meski hujan, hari ini terasa sangat
hangat di tambah dia orang yang baru kukenal, Ia basah kuyup oleh air hujan
demi memberikan bingkisan berwarna merah muda. Liburan yang sangat berkesan,
lagi-lagi Januariku adalah hadiah yang tak terlupakan.
Waktu cepat berlalu, kembali dengan rutinitas lama,
menuntut ilmu dan kembali berjuang untuk meraih impian. Ditempat itu sudah menunggu
seorang yang kukenal di awal ku masuk di bangku kuliah. Dialah yang
membimbingku dan menjagaku, lebih dari seorang kakak yang baik. Aku
menyayanginya dan diapun menyayangiku, bahkan banyak yang mengira kita adalah
sepasang kekasih yang pada kenyataan bukan, meskipun aku sedikit mengarapkan.
Kado terindah setelah ku diterima di kampus
tercinta, dia yang selalu mengunjungiku setiap akhir pekan. Senyumannya
membuatku sangat nyaman, seorang yang tak pernah marah maupun kecewa padaku
meski aku membuat beribu kesalahan. Namun, untuk semester ini sepertinya
intesitas untuk bertemu berkurang. Kesibukan mahasiswa tingkat atas, membuatku
harus menahan rasa rindu beberapa waktu, menunggu waktu yang tepat untuk
bertemu.
Berputar, putar bagaikan roda yang menggerakan bumi
mengubah waktu. Semua berjalan perlahan dan terasa sangat menyakitkan. Kedua
orang yang kusayang perlahan menghilang dari kehidupanku dan membuatku merasa
kesepian. Rama, dia yang membuat Januariku berbeda, dan Dimas adalah seorang
yang ku anggap lebih dari seorang kakak. Mereka sibuk dengan tugas akhir
mereka, pantas saja karena saat ini aku pun menjadi seorang mahasiswa tingkat
atas. Bukan itu yang membuatku bersedih, hal itu mampu ku mengerti, namun janji
mereka yang tak pernah ku pahami. Mereka menghilang dengan janji masing-masing.
Dimas menghilang setelah mampu membuatku menjadi
goncang karena kata-kata yang tak pernah terduga. Kamu adalah sebuah harapan, dan tak akan mengajakmu pacaran, tinggalkan
aku jika aku membujukmu, semoga kita dipertemukan. Kata yang saat itu
membuatku terharu bahagia dan hanya tersenyum tak mampu menjawabnya, karena ku
tahu dia adalah seorang yang religius. Namun, setelah kata itu, tak pernah ada
pertemuan, hubungan kita semakin renggang, meski tetap terjalin komunikasi.
Tak berbeda dengan Rama, Ia memang jarang
menghubungiku. Namun, Ia selalu mampu memberikanku kejutan-kejutan yang tak
pernah ku dapatkan. Tanpa membuat janji Ia sudah berada di depan pintu dan siap
mengajaku pergi kemana saja ke tempat yang belum pernah ku kunjungi, ataupun
sekedar berbagi keluh kesah selama menjalani kuliah. Memang ciri khasnya
seperti itu. Setelah lama tak bertemu dan berkomunikasi, teman satu rumah kos
denganku memanggilku, Ia menyuruhku untuk menemui seseorang yang mencariku.
Seperti yang kuduga, Rama sudah berada didepan
pintu. Penampilannya begitu berbeda, dia menjadi sangat rapi. Dulu dia adalah
seorang dengan penampilan urakan, meskipun begitu aku tahu dia adalah orang
yang baik. Malam itu terasa sangat indah, kerinduanku seakan terpecah, namun,
hatiku juga terasa pecah ketika sampai di suatu tempat. Pilihlah sebuah pakaian, dan berjanjilah kau akan mengenakannya dihari
pernikahanku. Rasanya sama sakitnya ketika tak mendapatkan kabar dari Dimas.
Ingin ku menangis mengapa secepat ini, bahkan dia belum menyelesaikan tugas
akhirnya sebagai mahasiswa. Namun, bagaimana lagi aku tak mungkin menangis,
selain malu aku sadar aku ini siapa dan tak berhak untuk menuntut sesuatu dari
mereka.
Sepulangnya dari tempat itu, ku ambil kebaya merah indah
yang tadi ku pilih. Sudah tak ada lagi rasa sedih seperti tadi. Bahkan aku
senang sekarang memiliki kebaya indah. Namun, pikiranku menolak keras untuk
membayangkan gaun ini kupakai untuk menghadiri pernikahan Rama nanti.
Satu, tahun berlalu. Tak pernah ada kabar dari
mereka. Sudah dua kali wisuda tak ku lihat mereka berdua wisuda. Sesekali ku
melihat sosial media untuk memastikannya, mereka tak pernah memunculkan
tanda-tanda telah di wisuda. Saat ku
sedang bertanya-tanya tiba-tiba dering ponsel lagi-lagi mengagetkanku dari
pikiran-pikiran yang tidak jelas.
”Assalamu alaikum, Dik, besok Abang Wisuda. Dandan
yang cantik ya ;)”
Pesan yang sangat ku kenal, setelah sekian lama
akhirnya Dimas menghubungiku dengan kabar gembira. Meski ada rasa kecewa, namun
aku ikut bahagia dengan kabar yang berikan kepadaku. Aku juga tak sabar,
menunggu pesan dari Rama untuk kabar gembira yang sama, namun hingga larut tak
ada pesan darinya. Mungkin besok ia akan mengabariku. Pikirku menenangkan
diriku sendiri agar bisa terlelap. Ritual yang selalu kulakukan setiap malam
upacara wisuda, menunggu dua orang yang ku sayang untuk memberikan kabar
gembira, yang kini akhirnya ku dengar dari salah satunya.
Pagi yang bahagia, rumah kosku ramai dengan kakak
tingkat yang sedang mempercantik diri untuk dapat tampil istimewa di upacara
wisuda. Begitu juga di sosial media
semua bertemakan wisuda, kecuali Rama yang lama tak terlihat diberanda, tak
berbicara tentang wisuda malah membicarakan tentang wanita. Jadilah wanita yang cerdas. Tulisan itu
membuatku memiliki dua pemikiran entah buruk atau bagus, yang pertama ku pikir
ia sudah memiliki kekasih hingga ia berhenti menghubungiku untuk menjaga hatinya,
aku memakluminya, dan yang kedua mungkin dia belum wisuda.
Untuk pertama kalinya, ku berada di tempat ini
dengan suasana yang berbeda. Tempat ini berubah menjadi sangat ramai, halaman
luasnya terparkir berpuluh-puluh mobil, dan didepan gedung terdapat ribuan
orang. Berumur dibawah tahun, bahkan ada yang paru baya, mereka adalah sanak
saudara dari mereka yang saat ini mengenakan kebaya dan jas yang ditutup oleh
toga wisuda. Senyum terpancar dari semua pihak, termasuk aku yang akhirnya
menemukan rombongan keluarga yang sedang berfoto bersama. Disana terdapat Dimas
yang sudah dari kejauhan melihatku, dan melambaikan tangan memberikan petunjuk
bahwa Ia berada disana dan tersenyum melihat souvenir khas wisuda yang sedang
Ku bawa.
Sesampainya di tempat itu, Ku salami satu per satu
anggota keluargannya. Mereka sangat ramah padaku, dan bahkan sudah menyebut aku
sebagai saudara perempuan dari Dimas yang seketika itu membuat pipiku memerah
hingga Dimas pun menyadarinya dan mengajaku ke suatu tempat menjauh dari
keluarganya. Aku pun menyerahkan hadiahku untuknya dan mengucapkan selamat
padanya, tanpa ku duga satu tangkai mawar merah berada di depanku dan
mengisyaratkan untuk kuambil. Dengan tersenyum Dimas memberikannya, ini adalah
permintaanku, satu tangkai mawar merah, cukup satu tangkai di hari wisudaku.
Meski ini bukan wisudaku aku sangat terkesan.
Tak selang berapa lama, segerombolan orang dengan pakaian
yang sama dengan Dimas mendekat dan membuat keributan. Mereka menggoda kami,
dan menganggap kami adalah seorang kekasih. Pipi kami memerah dengan godaan
yang tak henti. Kebahagiaan sangat terpancar diwajah mereka, ku tahu dari
senyum yang sangat nyata.
Dalam riuhnya, kebahagiaan rekan-rekan Dimas. Ku
mulai beranjak dari keramaian, rasanya tidak ingin ku mengganggu kebahagiaan
mereka. Tidak jauh dari tempatku, ku lihat Rama yang juga menggunakan toga wisuda.
Disana ramai juga oleh keluarga dan rekanya. Ia tak melihatku sama sekali meski
lama ku melihat ke arahnya. Tanpa sadar ku tersenyum dan mereasa sangat lega,
akhirnya ku melihatnya telah diwisuda. Baru beberapa jarak langkah kakiku ingin
mendekat ke arahnya. Ku lihat wanita cantik yang tiba-tiba menggandengnya.
Wanita itu jauh sekali dengan diriku, terlihat sangat anggun dan kekinian. Diakah calon istrinya. Dalam hatiku
terus bertanya seperti itu dan membawa kakiku kembali mendekat ke Dimas yang
masih sibuk dengan teman-temannya.
Malam harinya, ku penuhi janjiku untuk mengikuti
acara makan malam Dimas disebuah rumah makan sekitar kampus. Pujian yang mereka
berikan di sela-sela percakapan mampu membuatku sesaat tersipu. Mereka
menggodaku dengan Dimas yang saat ini duduk jauh dari tempatku. Aku memilih
duduk disamping Ibunya yang memaksaku untuk tetap berada didekatnya. Menanggapi
kericuhan yang terjadi, Dimas mulai berbicara. Dia mengenalkanku kepada
keluarganya, menceritakan semua tentangku bahkan yang tak pernah ku sadari, dan
saat itu tubuhku menjadi gemetar karena grogi. Perasaan santai sudah berubah,
tanganku menjadi dingin, pipiku mulai merona dan hanya bisa terdiam. Hari yang
bahagia untuk mereka berdua. Bagaimana
denganku? Mungkin iya, mungkin tidak.
Hari yang bahagia untuk mereka berdua. Kira-kira itu
terjadi satu tahun yang lalu. Kini aku yang merasakannya. Setelahku kehilangan
kedua orang yang kusayang setelah hari itu. Besok aku akan menjadi tokoh utama
dalam acara itu. Mengenang satu tahun yang lalu, malam dimana hari bahagia itu
sudah terlewati.
“Terima kasih, atas doanya khiki.”
Pesan dari Rama yang sontak membuatku menangis, aku
tidak tahu apa sebab yang jelas mengapa aku menangis. Rasanya juga bukan karena
Rama dan kekasihnya, karena aku pun sadar wajar baginya untuk memiliki seorang
kekasih. Mungkin juga karena Dimas yang sudah membuatku terharu dengan
mengenalkanku kepada keluarganya secara terbuka hingga membuatku tersipu. Aku
sendiri pun bertanya tanpa membalas pesan itu, ini adalah air mata haru ataupun
duka. Nyatanya aku pun tak mengerti.
Nyatanya yang membuatku menangis adalah hari ini,
kebahagiaan mereka Dimas dan Rama yang membuatku menangis. Sekarang aku
benar-benar kehilangan kedua orang yang ku sayang. Mereka sudah tak lagi berada
disampingku, kini sudah tak ada lagi Dimas yang senantiasa menasihatiku dan
menghiburku dengan sabar. Tidak ada lagi seorang Rama yang membuatku ceria.
Meski hari ini adalah hari bahagia, jika egoku boleh mengkungkapkan beberapa
kata, Hari ini adalah hari sangat sepi
dan menyakitkan.
Tak terasa malam lelah sudah berlalu, hari ini sudah
pagi. Tidak seperti upacara wisuda lainnya, pagi ini masih sepi, tidak ada yang
mengantri mandi. Mungkin karena aku lulus lebih cepat dari yang lainnya, dan
untuk wisuda periode ini juga tidak banyak mahasiswa yang mendapat kesempatan
yang sama untuk dapat diwisuda diperiode ini untuk mahasiswa yang seangkatan
denganku.
Rekan sekamarku sempat memarahiku karena aku terlalu
santai, bahkan aku tidak menyiapkan apa-apa untuk wisudaku, tidak membeli
kebaya ataupun menyewa kebaya dan perias untuk ku pakai hari ini. Pikirku, aku
memiliki kebaya pemberian yang hanya kusimpan di lemari, mungkin juga Si
pemberi sudah menikah, karena sudah satu tahun tidak ada kabar darinya, serta
tidak ada satu undanganpun yang kuterima. Mungkin
Ia sudah lupa.
Selesai mandi, perlahan ku kenakan kebaya merah
pemberian Rama yang masih dalam posisi yang sama dibantu oleh rekan sekamarku
yang sangat sabar membantukku mengenakannya. Bahkan Ia menahanku untuk tetap
berada di kamar sebelum ia selesai meriasku. Ia memang mahir merias,
perlengkapan riasnya pun lengkap tidak sepertiku yang berniat berangkat tanpa makeup sedikitpun.
“Waw, Kamu sangat cantik Khiki.”
Dia memuji hasil karyanya sendiri aku kira. Ku mulai
kenakan toga wisudaku dan berkaca. Aku
lulus. Hatiku menjadi berbunga setelah bercermin dan berkata dalam hati,
resahku seolah hilang dan sejenak mampu lupakan kesedihan yang ku takutkan di
hari ini. Kembali menjadi diriku yang sebelumnya, aku kembali ceria dan
menikmati hari ini. Lagi-lagi, hari ini adalah hari yang bahagia. Untukku saja.
Semua menjadi tak beraturan setelah upacara wisuda
dinyatakan selesai. Semua berdesakan merangsek keluar terlebih dahulu. Mereka
sangat penasaran dan ingin segera bertemu orang-orang yang datang di hari ini.
Sama denganku, yang berbeda aku juga ingin bertemu mereka, namun tanpa rasa
penasaran, karena aku sudah tahu, keluargaku tak akan datang ke upacara
wisudaku.
Setelah sekian lama berjuang, akhirnya aku mampu
keluar dari keramaian. Tiba-tiba ada segerombolan manusia alay yang bergantian memeluku dan memberikan selamat. Mereka teman
satu rumah kos denganku, ku kira mereka tidak peduli karena tidak ada satupun
yang terbangun ketika ku bersiap siap seperti yang sudah-sudah. Aku sangat
terharu namun tak sampai menangis, karena rekan satu kamarku memberiku tatapan
penuh ancaman, yang mengisyaratkan jangan pernah untuk menodai karyanya dengan
meneteskan air mata sedikitpun.
Rasa syukur bertubi-tubi ku panjatkan, mungkin sudah
ribuan senyum ku tebarkan untuk menit-menit ini. Aku sangat bahagia saat ini,
silih berganti memberikan selamat, teman sekelas hingga rekan satu organisasi
mereka antusias mendokumentasikan momen wisudaku dengan berfoto bersama. Bukan
hanya satu tangkai mawar, namun banyak sekali bunga dan hadiah yang ku terima
hari ini.Ternyata saat ini aku salah, karena merekapun peduli denganku, bukan
hanya mereka yang saat ini meninggalkanku seenaknya.
Hanya beberapa menit saja, setelah itu kembali sepi.
Mereka meninggalkanku begitu saja karena acara mereka masing-masing, dari
kuliah hingga rapat, mereka meninggalkanku dengan kata maaf. Meskipun sepi,
rasanya kebahagiaanku tak hilang seiring dengan menghilangnya mereka dari
hadapanku.
Saat ku memutuskan untuk kembali ke rumah kos, ku
lihat seseorang yang tak asing mendekat kearahku. Bukan hanya satu tapi dua,
dengan setangkai mawar merah di tangannya.
“Selamat Dik,”
Dimas memberikan setangkai mawar merah kepadaku dan
tersenyum seperti biasa. Rasanya aku ingin meneriakinya sekeras-kerasnya,
karena meninggalkanku tanpa kabar sama sekali. Lagi-lagi aku memaafkannya untuk
kesekian kalinya, hanya tersipu yang aku lakukan kala didepannya. Belum sempat
menceritakan kebahagiaan hari ini. Ia memperkenalkan seseorang disebelahnya.
Dia seseorang yang sangat cantik, anggun, dan sholeha. Dengan pakaian yang
serba tertutup senyumannya sangat menenangkan dan menyejukan setiap mata yang
melihatnya.
”Dia adalah Istriku”
Senyuman bahagiaku seketika menjadi senyuman yang
sangat aneh. Energiku untuk bercerita seakan turun dari level atas ke level
dimana mendekati game over. Aku
bingung saat itu hanya bisa menuruti pinta mereka untuk mengantarkan aku pulang
ke rumah kos. Tanpa kata, diperjalanan aku hanya terdiam dan berfikir. Harusnya aku menangis. Tersenyum sendiri
aku mendengar pertanyaan hatiku yang demikian. Hingga Istri Dimas terlihat
kebingungan melihat tingkahku yang sangat aneh itu. Lagi-lagi ada orang yang
berpamitan untuk menghadiri sebuah acara.
Melelahkan, namun mengesankan, itulah hari ini.
Inikah yang disebut dengan cinta, dimana ada seseorang yang kita anggap sebagai
seseorang yang kita sayang bersanding dengan seseorang yang pantas hanya ada
rasa bahagia. Apa inilah cinta seorang Adik kepada Kakaknya. Tidak ada rasa
sedih sama sekali, hanya kecewa karena Ia menghilang tanpa kabar. Namun,
bahagia setelah mendapat kabar yang tak pernah terfikir sebelummnya.
Baru selesai ku melepas toga wisudaku dan kembali
bercermin dengan kebaya merah yang ku pakai. Kembali tersenyum sendiri melihat
bayangan ku dicerimin. Lalu kapan kamu menikah
khi?
Seseorang mengagetkanku dari lamunan, seperti biasa
rekan satu kamarku memanggilku dengan sangat keras untuk segera ke depan
menemui seseorang yang sedang mencariku. Tanpa berganti pakaian dan masih
menggunakan kebaya lengkap dengan riasan sisa wisuda, aku menemui orang yang
dimaksud.
Rama, dialah yang saat ini berada di depan pintu
rumah kosku. Dengan setelan jas rapi ia mengajaku menaiki mobilnya. Tanpa
seizin ku Ia mengajaku pulang ke kampong halaman untuk menghadiri acaranya. Aku
hanya terdiam, entah mengapa kebahagiaan yang tadi kurasakan seolah berubah
menjadi beku seketika melihat kehadirannya yang ku kira pasti akan membawakan
berita yang akan membuatku menangis. Hatiku ingin sekali menanyakan pertanyaan
yang tertahan oleh bibirku.
“Bang, apa kamu akan menikah?”
Akhirnya, pertanyaan itu mampu terucap oleh bibirku.
Rama hanya bereaksi mengangguk dan tersenyum dengan tetap menyetir mobilnya
yang dipacu secara perlahan. Es yang tadi beku rasanya mencair dan mengalir di
sela mataku. Semuanya tanpa ku sadari hingga akhirnya aku pun terisak dan
meluapkan apa yang sudah terpendam selama ini.
“Kenapa hari ini banyak orang yang menikah?”
“Aku tak ingin menghadiri pesta pernikahanmu.”
“Ini terlalu lama, kau menyakiti pengantin wanitamu
jika membuatnya menunggu lama hanya untuk menjemputku.”
Hatiku sudah teracuni oleh emosi, aku membenci
diriku saat itu. Hari ini untuk pertama kalinya aku menangis di hadapan seorang
laki-laki. Rama menghentikan mobilnya perlahan dan mulai menengkanku.
“Khiki, kau sudah berjanji akan menghadiri pesta
pernikahanku.”
“Kau pun saat ini sedang mengenakan kebaya
pemberianku.”
“Aku kira, khiki yang ku kenal tidak pernah
mengingkari janjinya.”
Peryataan itu membuatku diam dan tertunduk, hanya
tersisa isak yang mulai melambat. Kini merasa bersalah telah memaki Rama yang
sudah berusaha untuk menjemputku agar aku dapat menghadiri pesta pernikahannya.
Tak terasa lima jam sudah berlalu, tangisku membuatku mengantuk dan tidur di
perjalanan hingga senyenyak ini. Namun, bukan gedung resepsi tempat ku
berhenti.
Wajahku sangat terlihat buruk saat ku coba melihat
diriku dispion. Aku segera membersikan segala hasil ulahku yang membuat hasil
karya rekan kamarku hancur oleh tangis kekanakanku. Ku lihat Ibuku keluar dari
ruangan dan menyambutku setelah keluar dari mobil. Semua orang memberikan
ucapan selamat, Ibuku memeluku erat dan mengangis sembari memberikan ucapan
selamat. Ternyata wisudaku belum selesai. Aku mulai dapat tersenyum kembali.
Kantor Urusan Agama tempatku berada disini, aku mengikuti
Rama untuk melihat prosesi akad nikahnya. Dengan rasa penasaran aku masuk ke
dalam ruangan. Ku lihat Pak Penghulu sudah berada dalam posisinya. Ayah dari
Rama pun sudah duduk didekat Pak Penghulu. Aku masih mencari seseorang dengan
gaun cantik, namun tidak ada seorangpun. Mataku tak mau berhenti seolah
bersemangat mencari pengantin wanita dari Rama.
Suara laki-laki yang sangat ku kenal memanggilku,
bersumber dari sekitar Pak Penghulu. Ternyata dia adalah Ayahku yang saat ini
duduk tak jauh dari penghulu dan memintaku untuk duduk disampinya, didekat
Rama. Seketika itu aku sangat bingung dan hatiku berdegub sangat kencang,
tubuhku gemetar tak terkendali masih bingun dengan keadaan ini.
“Calon Istriku sudah siap Pak, bisa dimulai
sekarang.”
Rama tersenyum kepadaku, begitu pula Dimas yang juga
berada diruang yang sama. Bedanya Dimas sedang berdiri melihatku, dan Rama siap
untuk mengucapkan ikrar untuk menjadikanku halal baginya. Haru.. itu yang
kurasa aku tak dapat sembunyikan senyum dan tangis bahagia.
Sangat cepat, aku sudah menjadi Istri dari seorang
Rama yang menghilang dan tak pernah memberikan kabar. Seorang yang kukagumi dan
terjawab sudah apa makna sebenarnya dari kekagumamku kepadanya. Dia adalah
lelakiku, yang akan membimbingku untuk meraih RidhaNya untuk tetap berada
dijalanNya.
Setelah melangsungkan akad nikah, datanglah beberapa
orang yang mengajaku ke sebuah ruang untuk berganti pakaian. Kebaya putih indah
nan anggun mengubahku menjadi seorang ratu dalam waktu kurang dari tiga puluh
menit. Riasan dan hiasan jilbab yang ku kenakan saat ini tidak sesederhana saat
upacara wisuda tadi.
Saat ini aku belum percaya dengan apa yang terjadi
di hari ini, khususnya untuk jam-jam terakhir ini. Hingga sesampainya dirumah,
aku kembali terkejut dengan datannya semua rekanku yang tadi tiba – tiba
menghilang saat wisudaku. Ternyata alasan mereka meninggalkanku untuk sebuah
acara, yakni acara pernikahanku. Begitu pula orang tuaku mereka tak menghadiri
wisudaku untuk mempersiapkan pernikahanku.
Semuanya memberikan selamat padaku. Dimas dan
Istrinya pun dengan bahagia memberikan hadiah dan ucapan selamat yang membuatku
sangat bahagia. Masing-masing dari rekan dekatku memberikan dua hadiah untukku
termasuk Dimas, keduanya bertuliskan kata-kata petunjuk yang lucu. Salah
satunya bertuliskan Hadiah Pernikahan, dan yang kedua adalah Hadiah Ulang
tahun. Hari ini memanglah hari ulang
tahunku.
Tertuliskan Dimas ku temukan di sela Al Quran hadiah
pernikahan darinya.
Assalamu alaikum, Adindaku Rizki Romadona,
Abangmu ingin bercerita, dengarkan dengan seksama
dan jangan ngantuk!!
Baris pertama yang membuatku tersenyum sendiri.
Adinda, ada seseorang yang sangat ku sayangi, dan
pernah berfikir Dialah jodohku, aku sangat menyanginya hingga aku takut
kehilangannya. Aku tak bisa jauh darinya dan selalu berupaya agar aku tetap
berada didekatnya, hingga ada seseorang yang menyadarkanku bahwa itu bukanlah rasa
sayang apa lagi Cinta. Dia sahabatku yang sedang gundah karena seorang wanita,
Ia menceritakan bahwa Ia telah jatuh cinta dan ingin segera memilikinya. Dia
memintaku untuk membantunya menemui orang tuanya sekedar bersilaturahim
bercerita mengungkapkan isi hatinya. Dengan berani Ia berjanji akan menikahi
wanita itu, setelah ia memantaskan diri untuk dirinya. Disitu aku mulai
tersadar bahwa cinta memang tak selalu bersama. Ia datang bagai misteri yang
tak pernah diketahui. Kebersamaan bahkan mampu membawanya pergi. Pria itu
mengajarkkanku bahwa menjaga seorang wanita tidaklah dengan cara selalu ada
didekatnnya. Karena doa ternyata lebih tinggi derajatnya untuk menjaga dan
selalu menghormatinya.
Dan tahu tidak Adinda, setelah ku kunjungi rumah
wanita yang dimaksud oleh sahabatku. Rasanya sangat kaget kala aku tahu bahwa
kita menyayangi orang yang sama. Dan hari itu juga aku tersadar, aku
benar-benar tak pantas untuk wanita itu. Keberanian, dan keseriusannya
membuatku tahu bahwa cintanya jauh lebih besar dibandingkan denganku yang hanya
mampu menodai kehormatan wanita itu dengan terus bersamanya mengajaknya untuk
berbagi rasa rindu dan kusadari yang kudapat hanyalah maksiat.
Hatiku masih dipenuhi oleh syetan, meski aku
tersadar aku tetap ingin tahu apakah wanitaku itu juga memilihnya untuk
pendampingnya. Hingga akhirnya ku berhenti ketika ada seorang wanita yang kini
menjadi istriku, tanpa sadar aku melakukan hal yang sama yang di lakukan
sahabatku. Yakni memilikinya dengan cara menikahinya.
Adinda, kau tahu sosok laki-laki yang aku ceritakan.
Dialah suamimu, yang senantiasa meminta nasehatmu untuk menahan diri tidak
menemui wanita itu, yang senantiasa menanyakan kabarnya dari rekan satu
kamarnya, dan senantiasa mendoakannya hdalam setiap sujudnya. Iya, kau pasti
tahu sosok wanita itu adalah dirimu Adinda, kita mengharapkan wanita yang sama.
Bedanya, begitu besar rasa suamimu hingga tanpa sadar aku mengundurkan diri.
Aku semakin yakin, saat wisudaku. Aku
memperhatikanmu diam-diam yang sedang memperhatikan Suamimu dari kejauhan.
Matamu tak dapat berbohong dengan rindu dan kebahagiaan yang selalu kau berikan
kepada semua orang yang mengecewakanmu, karena telah lama meninggalkanmu
sendirian. Namun, tatapan ini beda. Ku melihat kamu mengurungkan diri untuk
pergi ke sana karena seorang wanita. Kau sangat lucu dulu, cemburu dengan adik
kandung suamimu. Dan disitu aku kembali diyakinkan oleh kedua pasangan ini,
bahwa kalian memang telah terikat, tanpa ada yang terpikat. Rasa cinta kalian
suci, ikatan kalian didasarkan dari sebuah kebutuhan, bukanlah keinginan.
Kebutuhan untuk selalu bersama dan berbagi, lebih
dari sekedar bercanda di setiap akhir pekan dan berbagi tawa. Namun, untuk
berbagi selamanya hingga di akhirat sana. Aku sangat bangga kepada adikku ini,
dia yang sangat ceria mampu menjaga hatinya untuk seorang Ikhwan yang
senantiasa menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa cintanya. Hatinya
tak pernah goyah meski kamu sendiri tak tahu apa jawaban waktu selanjutnya.
Kamu masih berada di tempat yang sama menunggu kehadirannya menggungkap
cintanya.
Terima kasih Adinda, tetaplah jadi adikku yang ceria
dan mengajarkanku banyak hal yang luar biasa.
Tertanda,
Abang Dimas
Hanya mampu terdiam dan menitikan air mata, betapa
bahagianya ku memiliki kedua orang yang sangat kusayangi. Mereka sangat
memperdulikanku dan memperhatikanku. Hingga pelukan seseorang membuatku
menghapus air mataku perlahan dan memberikan surat ini untuk dia baca. Perlahan
ia membacanya sembari menghabiskan kopi panas buat. Hangat tangannya mengisi
sela jariku, hingga pagi yang disambut dengan rintik hujan tak lagi dingin
menusuk, hanyalah sejuk bagai pagi dengan jutaan tetes embun.
"Terima kasih, Abang Rama."
Jimmi Rizki Romahdona
0 comments:
Post a Comment