Saturday, September 10, 2016

Cup of Coffee 3#

PERKENALKAN !
Perkenalkan aku,
Seseorang yang mencoba berbeda dari biasanya,
Ingin lebih tertunduk,
Pada setiap ayat yang menjadi kepastianNya,
Bukan menjadi seseorang yang baru,
Melainkan menjadi lebih baik dari yang lalu.

Hari pertamaku mengenakan jilbabku di kampus, seperti biasa aku masih bersepeda dengan Dimas tentunya. Kuparkirkan sepedaku berjajar dengan sepeda yang dimiliki Dimas. Seseorang yang tidak asing sepertinya sedang menuju ke arah kami. Laki-laki sederhana berwajah cerah, meski tak terlihat singgungan di bibirnya namun setiap orang yang melihatnya akan berbalik tersenyum padanya. Wajahnya amat sangat menenangkan, penuh kehangatan dan kesejukan. Menyapa setiap orang yang ia kenali tanpa memandang perbedaan diantara mereka.

Assalamu alaikum.” Orang itu menyalami seseorang yang di sampingku.

Wa alaikum salam bang.” Seseorang di sampingku berbalas menyalami.

Terjadi pembicaraan diantara mereka aku hanya kebingungan karena laki-laki yang datang adalah Rizqi Fatkhah yang kemarin telah aku kerjai. Malu rasanya jika mengingat kejadian yang lalu. Rasa bersalah datang dari mana asalnya itu membuatku tertunduk. Beribu pertanyaan bermunculan tentang Dimas orang yang berada disampingku ini sejak kapan mengenal seorang Rizqi. Mereka berdua mempunyai karakter yang berbeda. Bagaimana bisa seorang Dimas dengan jiwa petualang mengenal Rizqi seseorang yang betah berlama-lama di dalam majelis.

“Dik, Rara.” Suara lembut mengalihkan lamunanku.

Ehh. Iyaa” Aku mencari seseorang yang mengalihkan lamunanku itu.

”Kau berjilbab.” Rizqi memandangiku sejenak dan langsung menundukan pandangannya ketika mata kita sempat beberapa detik beradu.

Ada yang berdesir didalam hatiku. Seperti ada yang berbeda dari diriku, tatapan yang tidak sampai sepuluh detik mampu menundukanku, dan membuat pipiku meranum. Entah apa yang terjadi hingga aku mejadi salah tingkah. Tidak seperti biasanya aku memberikan reaksi yang lebih agresif ketika Dimas sedang menatapku tanpa arti. Dia sering menggodaku dan akan ku balas dengan godaan yang membuatnya terkadang salah tingkah. Namun ini sangat berbeda, melihatnya aku tidak berani, tetapi beberapa detik itu aku berhasil menyimpan potret yang mulai merusak system kerja otakku.

“Dimas, saya ke kelas dulu ya, ada kuliah.” Rizqi memecah kecanggungan.

“Ooh iya bang, kita juga ada kuliah.” Sahut Dimas.

Assalamu alaikum Dim, Assalamu alaikum Dik. Rizqi menyalami Dimas, dan juga menyalamiku tanpa tersentuh seperti yang dilakukan kepada Fatimah, dan responku juga menjadi otomatis seperti yang dilakukan Fatimah. Ada yang sedang tidak dapat disinkronisasi dengan otakku dan sepertinya ini mulai berbahaya.

“Ciieeeee…” Dimas menggodaku.

“Apa?” Aku melotot.

“Ada yang pengin jadi calon istri Pak Ustad.”

“Apaan si Bang.” Pipiku kembali memerah.

“Tuh udah kaya tomat.” Dimas meninggalkan tempat parkir dan mendahuluiku.

Aku hanya terdiam dan mengikutinya. Rasanya masih banyak beribu pertanyaan yang belum bisa ku ungkapkan karena pertanyaan itu belum bisa terangkai karena ada yang membuatku berantakan seketika tadi.

Dikelas semua padangan tertuju padaku. Bagaimana tidak saat ini kuncir kuda yang tidak rapi tidak terlihat lagi. Tidak hanya perempuan dikelasku melainkan juga laki-laki. Semuanya berkomentar, dan mendukungku. Hari pertamaku sangat tidak terduga aku kira akan banyak yang mengejekku karena kerudung yang kukenakan belum rapi seperti rekan kelasku yang sudah lama mengenakannya. Ku lihat Fatimah dengan kesejukannya tersenyum tulus dan membuatku ingin segera kesana dan menceritakan yang terjadi di parkiran tadi. Namun, setelah sadar akan ketertarikan Fatimah pada Rizqi akhirnya kusimpan dengan senyum tertahan dan pipi yang terus meranum.

Bangku pojok paling depan menjadi pilihanku kali ini, disamping Fatimah seperti biasa. Tetap ada yang membuat ramai karena Dimas tidak seperti biasanya duduk dibarisan paling depan hanya saja kita terhalang Fatimah yang duduk menengahi kami. Dimas adalah mahasiswa yang tidak pernah duduk didepan dan sekarang ia memilih untuk berada di antara kami tersenyum menggodaku tidak jelas dan membuat keramaian di dalam kelas. Bagaimana tidak aku dan Dimas yang selalu digosipkan membuat Dimas semakin bersemangat menggodaku dan menggoda teman sekelas tentunya yang iri dengan keromantisan kami. Karena seperti biasa aku pun merespon lebih agresif dari pada wanita yang lainnya dan akan berhenti jika Fatimah menegurku.

Tiga mata kuliah yang melelahkan. Pukul setengah empat Aku dan Dimas selesai sholat Ashar. Ku lihat dari tempatku mengenakan sepatu, ditempat sholat laki-laki ada Dimas yang juga sedang mengenakan sepatu dan merapikan diri. Bukan itu yang ku lihat melainkan Rizqi yang baru selesai berwudhu, sekali lagi aku melihatnya, wajahnya semakin terlihat bersih, rambut lurus yang agak panjang tersibak sehingga memperlihatkan seluruh wajahnya yang biasanya tertutupi. Butiran air wudhu membuatnya semakin terlihat menyejukan.

Ku dengar takbir dari arah mushola, ku lihat punggung yang kukenal sedang memimpin bebeberapa baris mahasiswa yang kusyuk di belakangya. Dia adalah Rizqi sosok tinggi yang tegap sedang memimpin dan membawa semua orang masuk kedalam kesejukannya. Ada rasa penyesalan jika aku tidak terlalu cepat pasti aku akan berada di barisan putri yang berada dibelakangnya untuk ikut serta di dalam jamaah berasa mereka yang sedang dipimpinnya.

Mungkin suatu hari nanti ada waktu dimana hanyalah aku yang berada dibelakangnya, dan bersalaman mengecup tangannya, setelah salam kedua.  

”Ahh aku berfikir apa sih.” Gumamku meninggalkan tempatku dan mengikuti Dimas.

~~~

“Rara, Dimas datang.” Ibu setengah berteriak

Tepat pukul tujuh malah aku baru selesai melaksanakan sholat isya, kupanjatkan doa seadanya dan memenuhi panggilan Ibu yang tidak henti-hentinya memanggilku.

“Mau apa kamu?” Aku bertanya ketus.

“Eeh, Rara, bukannya disuruh duduk malah di omelin gitu.” Ibu meletakan minuman dan camilan dimeja.

“Duduk Mas Dimas.” Ibu mempersilahkan duduk dan aku masih berdiri bingung.

“Sekarang Mas Dimas jarang main kerumah Rara ya. Nakal sih Raranya ya.” Ibu berbasa-basi.

“Rani dari dulu nakal Bu. Tapi Dimas lagi sibuk Bu jadi jarang main.” Dimas menjawab.

“Sibuk apa, sibuk pacaran itu Bu.” Aku ikut duduk dibangku yang berbeda dengan Dimas.

“Ra, Ibu mau kerumah Simbah sama Bapak, kamu disini sama Mas Dimas ya. Mas Dimas tungguin Rara ya, jangan ribut terus tapi.” Ibu meninggalkan ruang tamu kami berdua hanya mengangguk setuju.

“Ngapain sih?” Aku bertanya sebal karena istirahatku terganggu.

“Ngapel lah kan besok libur.” Jawab Dimas santai sambil membuka tasnya.

“Pulang aja sana.” Usirku.

“Tadi ga dengar aku suruh nemenin Rani.” Dimas mengeluarkan laptop dan perlengkapannya.

“Ooh, bilang ya dari tadi. Lain kali kalo mau kesini bilang dulu ya Bang, sms kek apa kek.” Aku mengerti apa yang dimaksud dan berlalu kekamar mengambil laptop.

“Nih Bang.” Aku menyodorkan laptop dengan tugas yang dimaksud.

“Pakai ini.” Dimas memberiku kerudung instan berwarna abu-abu muda.

“Apa ini Bang?” Aku melihatnya dan mulai memakainya.

“Imut” Dimas menggumam tanpa menatapku dan berfokus pada tugas yang tadi kutunjukan.

“Nyuri dari mana Bang?” Tanyaku penasaran.

“Ibu, punya Ibu tidak dipakai.” Jawab Dimas santai.

“Masa sih.?” Semakin penasaran, dan kuendus bau kerudung pemberian Dimas.

Dalam hatiku bergumam, semakin ku endus kerudung ini semakin aku tahu bahwa ini adalah kerudung baru, dan bagaimana mungkin ini punya Ibu Dimas, karena modelnya tidak akan cocok, biasanya model ini sedang pasaran di gunakan oleh anak sekolah menyesuaikan seragam sekolahnya bukan untuk seorang Ibu yang sudah memasuki umur lebih dari separuh baya.

“Hebat.”  Dimas mengabaikanku dan bertepuk tangan akan tugas yang sedang ia baca.

“Itu dikoreksi bukan di tepuk tangani.”

“Berarti sudah selesai dong, kamu memang selalu jenius. Kapan si kamu mempersiapkannya kok ga ngajak aku.” Jawab Dimas santai dan masih fokus dengan layar.

“Laah, kamu kalo diajak ngerjain bareng malah tidur, klo ga ya pacaran. Hufft.” Aku memalingkan wajahku.

“Siapa yang pacaran?” Dimas masih tidak melihatku.

“Lah kamu sih sama Kak Putri, kemarin ajah aku ditinggal kencan” Jawabku serius.

“Aku ga pacaran sama Dia.” Dimas mulai beralih kepadaku.

“Loohh kok, katanya dulu pacaran.” Aku bingung.

“Sudah lama aku tidak pacaran.” Jawabannya santai dan beralih pada handphonenya.

Aku hanya terdiam bingung mau bertanya apa lagi. Bagaimana mungkin tadi saja mereka berdua terlihat begitu mesra. Tetapi aku yakin didalam candanya Dimas tidak pernah berbohong kecuali untuk ungkapan-ungkapan gombalnya padaku jika dikelas. Karena Dia akan menjadi seorang kakak yang baik ketika hanya ada aku dan dia.

“IIH Bang, Jangan main HP terus. Dikoreksi dong biar kaya kerja kelompok, sebel banget sih kelompokan sama kamu. Liat apa sih” Aku pindah duduk dibangkunya dan merebut HPnya.

“Laah liatin foto aku.” Aku melihat Dimas sedang melihat akun sosmedku. Ada aku dan Fatimah yang berfoto untuk hari pertamaku berjilbab di kampus.

“Cantik kan.?” Aku kembali memperlihatkan wajah kami kepada Dimas.”

‘Woow.” Dimas memberi ekspresi datar, namun ada tatapan yang tertuju dari gambar yang kutunjukan.

“Apa kamu sedang jatuh cinta lagi Bang, cerita dong?” Aku memaksa.

“Mungkin.” Jawabnya datar.

“Siapa bang kasih tau, Bang Dim udah bilang ke orangnya belum?” Semakin penasaran.

“Sepertinya dia tidak ingin pacaran. Apa lagi denganku.” Dimas kembali meraih handphonenya dari tanganku.

“Masalah yang rumit. Tapi setidaknya diungkapkan saja Bang dari pada dipendam sendiri. Setidaknya gadis itu tahu kalo Bang Dim yang ganteng ini tertarik dengannya. Satu lagi selama sejarah percintaan kan Bang Dim belum pernah tertolak.” Aku menggurui.

“Tahu apa kamu.” Dimas kembali fokus dengan handphonenya.

Suasana menjadi hening, aku memikirkan sesuatu. Sepertinya aku mulai tahu siapa gadis itu. Fatimah dalam batinku memikirkan dirinya. Aku yakin pujiannya tadi WooOw ditujukan kepadanya. Aku pun sering mendekatkan Dimas pada Fatimah begitu juga sebaliknya. Memang Fatimah adalah gadis yang sulit, dia adalah gadis yang menjaga dirinya dengan baik. Baik tutur katanya dan sikapnya. Gadis sholeha seperti dia tidak akan mau diajak berpacaran, dan satu lagi hal yang ku ketahui ada rahasia antara Fatimah dan Rizqi. Sejenak aku merasa iba pada Dimas yang sepertinya dia harus merasakan cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, entah mengapa ada suatu kelegaan yang kecil.

“Ahaa, langsung saja dinikahi Bang.” Aku menyeletuk seenaknya.

“Sudah saya pikirkan sejak lama.” Jawabnya datar.

Keheningan pun kembali terjadi. Candaan kembali ringan seperti biasa setelah pembicaraan yang sepertinya belum harus ku bicarakan dengan seorang Dimas terlalihkan dengan tugas yang harus bisa dikumpulkan hari selasa. Pukul sembilan lebih lima belas menit Ayah dan Ibu pulang dari rumah Nenek, dan begitu juga Dimas yang berpamitan setelah selesai menjalankan amanah Ibuku dan Dosen tentunya.

Setelah semuanya berakhir, aku merebahkan tubuhku di ranjang dan memaikan handphoneku untuk sekedar menghiasi pembaharuan rekanku di social media dengan memasang emoticon bingung seperti yang sedang kurasakan. Klung klung. Handponeku berbunyi bergantian.


Dimas Al Fikri

Tidur.

Iya :p

Sudah malam tuh matamu udah kaya gitu kok.

Tumben perhatian, makasih Bang kerudungnya. <3

Ga suka liat rambutmu yang berantakan.

Tapi cantik kan :D

Dirumah ga dirumah, aku kan cowok Rani.

Iya iyaa..

Jangan bapper.

Yeeee..



Ku menunggu balasan beberapa menit, sepertinya memang tidak akan dibalas karena sudah lama ia baca pesanku terakhir, kualihkan pada pesan yang lain.


Fatimah

Assamu alaikum wr. wb
Sudah gak zaman galau-galauan,
Punya masalah dengan cinta?
Mari kita datangi dokter ahlinya!

Sabtu, 17 Desember 2015, pelataran
Perpus Utama pukul 16.00 pembicara
Ust. Muhammad Wahyudin dengan tema
“Ada Apa dengan Cinta?”

Semoga Allah senantiasa memberi Rahmat
dan ampunannya kepada kita semua.
Aamiin.

Wa salamu alaikum wr. wb

???
Ikut yuk Ra.

Besok?

Yaaps.

Insha Allah 


Hanphoneku kembali sunyi tidak ada lagi pesan yang bergulir meramaikan. Akhirnya mungkin aku besok bisa mengikuti acara ini. Selama aku berkuliah, Fatimah selalu mengajakku ke acara ini, namun aku selalu menolaknya karena saat itu aku tidak mengenakan kerudung seperti yang lainnya. Saat ini mungkin aku bisa, aku sangat bahagia menerima kenyataan ini hingga tak terasa mataku berembun dan mengalirkan hujan sesaat.

Tidak terasa aku masih mengenakan kerudung pemberian Dimas, entah mengapa aku malah memikirkan hal lain. Kejadian pagi tadi yang berhasil menghentikan nafasku sejenak. Mata itu sangat tajam, sorotnya menyampaikan sesuatu yang berhasil sampai ditempat kecil yang tersembunyi dalam diriku. Ada getaran setelahnya, sungguh hebat perasaan itu hingga aku tidak mampu lagi menahannya hanyalah merah menyala pipiku setelahnya.

“Astahgirullah.” Aku menghela nafas.

Sejenak aku menyalahkan diriku yang telah hanyut dalam kesesatan. Mata itu berhasil menjadi senjata berbahaya bagi kaum hawa. Mampu membawaku ke suasana dimana aku akan lebih berharap pada suatu ciptaanNya. Kekosongan ini berhasil di rasuki syetan sesaat tadi, hingga istighfar menghentikan lajunya agar tidak mengotori dan meracuni lebih dalam lagi.

Esoknya aku menunggu Fatimah menjemputku untuk menghadiri kajian yang sudah kami bahas semalam. Kali ini aku benar-benar hampir mirip seperti Fatimah, mengenakan baju yang serba longgar dengan rok dan kerudung pemberian Dimas yang menutupi dada. Rasanya diri ini ingin mengenakan ini hari ini, karena diperkumpulan itu, tidak ada yang berpenampilan sepertiku. Malu rasanya jika aku tetap seperti biasa bersama mereka. Nyatanya ini lebih nyaman dari pada pakaian-pakaianku sebelumnya.

“Assalamu alaikum Rara.” Fatimah memasuki gerbang rumahku.

“Wa alaikum salam. Yuuk langsung.” Aku menggandengannya menuju ke sepeda motornya.

“Semangat banget, hari ini kamu cantik banget Ra, ada apa ini?” Fatimah menggodaku.

“Biasa aja” Aku berpaling agar Fatimah tidak tahu bahwa aku tersipu.

Sesampainya disana sudah ada banyak mahasiswa dan mahasiswi yang duduk beralaskan tikar seadanya terpisah menjadi dua bagian, untuk laki-laki dan perempuan. Mereka berbincang bincang menunggu pembicara yang hadir. Ku lihat mereka bersalaman setiap kali ada yang baru hadir, begitu juga aku dan Fatimah melakukan hal yang sama.

“Assalamu alaikum Fat, wah dek Rara ya.” Salah satu rekan Fatimah menyalami.

“Wa alaikum salam, iya kak. Rara kak.” Aku memperkenalkan diri.

“Syifa, Dek Fatimah sering sekali cerita Rara, ternyata memang cantik ya.” Syifa memuji.

Pukul setengah empat pembicara belum juga datang, meski terlihat peserta sudah memenuhi tempat hingga harus di pasangkan lagi tikar untuk beberapa yang datang.

Assalamu alaikum wr. wb. Seorang moderator membuka salam dengan salam yang santai tetapi mantap. Suara yang tidak asing lagi meski terdengar baru tapi ku kenali. Bagaimana tidak dia adalah seorang Rizqi Fatkhah, dan yang membuatku terheran ada Dimas disampingnya dan juga pembicara yang sedang dengan seksama mendengar pembukaan dari moderator. Aku tidak menyadari keberadaan mereka. Jika memang aku tahu ini terjadi pasti aku tidak ingin menghadiri acara ini. Karena ada seseorang yang sedang berbicara dengan suaranya seolah berbisik padaku untuk memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Dalam hati ku beristighfar berusaha keras untuk menghentikan apa yang menjadikan nafasku sesak. Hingga Surah Ar-Rahmaan Ayat 1 – 10 menenangkanku.

Kali ini Dimas yang membacakannya, perasaan ini lebih menusuk dari sebelumnya. Lagu cinta yang diciptakan olehnya membuat semua orang yang mendengarnya bergetar. Angin seakan berhembus pelan menelusuri lorong telinga yang tadinya kosong kini menjadi berisi dengan asmaNya. Sungguh dahsyat sehingga membuat setiap ayat yang terdengar menjadi lebih puitis dibandingkan ciptaaan seorang pujangga, menjadi terdengar lebih merdu dibandingkan dengan komposisi lagu dengan alat music yang lengkap. Satu lagi yang tertinggal, aku baru tahu sisi lain dari Dimas.

Tertunduk hanya yang bisa ku lakukan saat ini, ada seorang laki-laki disana yang hanya duduk disampingnya saja mungkin aku tidak bisa. Ada sesuatu yang membuatku sangat kesal entah apa aku tidak tahu. Pipiku memanas, mataku terasa hangat, ada yang tidak bisa tertahan. Aku sangat merasa bersalah saat ini karena aku mengaggumi seseorang, dan seorang itu adalah yang juga di segani oleh sahabatku sendiri Fatimah. Aku ingin bercerita padanya tetapi bagaimana lagi dalam hati aku hanya bisa bergumam, semoga apa yang disemogakan tidak hanya menjadi semoga.



0 comments:

Post a Comment