PERKENALKAN !
Perkenalkan
aku,
Seseorang
yang mencoba berbeda dari biasanya,
Ingin
lebih tertunduk,
Pada
setiap ayat yang menjadi kepastianNya,
Bukan
menjadi seseorang yang baru,
Melainkan
menjadi lebih baik dari yang lalu.
Hari
pertamaku mengenakan jilbabku di kampus, seperti biasa aku masih bersepeda dengan
Dimas tentunya. Kuparkirkan sepedaku berjajar dengan sepeda yang dimiliki
Dimas. Seseorang yang tidak asing sepertinya sedang menuju ke arah kami.
Laki-laki sederhana berwajah cerah, meski tak terlihat singgungan di bibirnya
namun setiap orang yang melihatnya akan berbalik tersenyum padanya. Wajahnya
amat sangat menenangkan, penuh kehangatan dan kesejukan. Menyapa setiap orang
yang ia kenali tanpa memandang perbedaan diantara mereka.
“Assalamu alaikum.” Orang itu menyalami
seseorang yang di sampingku.
“Wa alaikum salam bang.” Seseorang di
sampingku berbalas menyalami.
Terjadi
pembicaraan diantara mereka aku hanya kebingungan karena laki-laki yang datang
adalah Rizqi Fatkhah yang kemarin telah aku kerjai. Malu rasanya jika mengingat
kejadian yang lalu. Rasa bersalah datang dari mana asalnya itu membuatku
tertunduk. Beribu pertanyaan bermunculan tentang Dimas orang yang berada
disampingku ini sejak kapan mengenal seorang Rizqi. Mereka berdua mempunyai
karakter yang berbeda. Bagaimana bisa seorang Dimas dengan jiwa petualang
mengenal Rizqi seseorang yang betah berlama-lama di dalam majelis.
“Dik,
Rara.” Suara lembut mengalihkan lamunanku.
”Ehh. Iyaa”
Aku mencari seseorang yang mengalihkan lamunanku itu.
”Kau
berjilbab.” Rizqi memandangiku sejenak dan langsung menundukan pandangannya
ketika mata kita sempat beberapa detik beradu.
Ada
yang berdesir didalam hatiku. Seperti ada yang berbeda dari diriku, tatapan
yang tidak sampai sepuluh detik mampu menundukanku, dan membuat pipiku meranum.
Entah apa yang terjadi hingga aku mejadi salah tingkah. Tidak seperti biasanya
aku memberikan reaksi yang lebih agresif ketika Dimas sedang menatapku tanpa
arti. Dia sering menggodaku dan akan ku balas dengan godaan yang membuatnya
terkadang salah tingkah. Namun ini sangat berbeda, melihatnya aku tidak berani,
tetapi beberapa detik itu aku berhasil menyimpan potret yang mulai merusak
system kerja otakku.
“Dimas,
saya ke kelas dulu ya, ada kuliah.” Rizqi memecah kecanggungan.
“Ooh
iya bang, kita juga ada kuliah.” Sahut Dimas.
“Assalamu alaikum Dim, Assalamu alaikum Dik.”
Rizqi menyalami Dimas, dan juga menyalamiku tanpa tersentuh seperti yang
dilakukan kepada Fatimah, dan responku juga menjadi otomatis seperti yang
dilakukan Fatimah. Ada yang sedang tidak dapat disinkronisasi dengan otakku dan
sepertinya ini mulai berbahaya.
“Ciieeeee…”
Dimas menggodaku.
“Apa?”
Aku melotot.
“Ada
yang pengin jadi calon istri Pak Ustad.”
“Apaan
si Bang.” Pipiku kembali memerah.
“Tuh
udah kaya tomat.” Dimas meninggalkan tempat parkir dan mendahuluiku.
Aku
hanya terdiam dan mengikutinya. Rasanya masih banyak beribu pertanyaan yang
belum bisa ku ungkapkan karena pertanyaan itu belum bisa terangkai karena ada
yang membuatku berantakan seketika tadi.
Dikelas
semua padangan tertuju padaku. Bagaimana tidak saat ini kuncir kuda yang tidak
rapi tidak terlihat lagi. Tidak hanya perempuan dikelasku melainkan juga
laki-laki. Semuanya berkomentar, dan mendukungku. Hari pertamaku sangat tidak
terduga aku kira akan banyak yang mengejekku karena kerudung yang kukenakan
belum rapi seperti rekan kelasku yang sudah lama mengenakannya. Ku lihat
Fatimah dengan kesejukannya tersenyum tulus dan membuatku ingin segera kesana
dan menceritakan yang terjadi di parkiran tadi. Namun, setelah sadar akan
ketertarikan Fatimah pada Rizqi akhirnya kusimpan dengan senyum tertahan dan
pipi yang terus meranum.
Bangku
pojok paling depan menjadi pilihanku kali ini, disamping Fatimah seperti biasa.
Tetap ada yang membuat ramai karena Dimas tidak seperti biasanya duduk
dibarisan paling depan hanya saja kita terhalang Fatimah yang duduk menengahi
kami. Dimas adalah mahasiswa yang tidak pernah duduk didepan dan sekarang ia
memilih untuk berada di antara kami tersenyum menggodaku tidak jelas dan
membuat keramaian di dalam kelas. Bagaimana tidak aku dan Dimas yang selalu
digosipkan membuat Dimas semakin bersemangat menggodaku dan menggoda teman
sekelas tentunya yang iri dengan keromantisan kami. Karena seperti biasa aku
pun merespon lebih agresif dari pada wanita yang lainnya dan akan berhenti jika
Fatimah menegurku.
Tiga
mata kuliah yang melelahkan. Pukul setengah empat Aku dan Dimas selesai sholat
Ashar. Ku lihat dari tempatku mengenakan sepatu, ditempat sholat laki-laki ada
Dimas yang juga sedang mengenakan sepatu dan merapikan diri. Bukan itu yang ku
lihat melainkan Rizqi yang baru selesai berwudhu, sekali lagi aku melihatnya,
wajahnya semakin terlihat bersih, rambut lurus yang agak panjang tersibak
sehingga memperlihatkan seluruh wajahnya yang biasanya tertutupi. Butiran air
wudhu membuatnya semakin terlihat menyejukan.
Ku
dengar takbir dari arah mushola, ku lihat punggung yang kukenal sedang memimpin
bebeberapa baris mahasiswa yang kusyuk di belakangya. Dia adalah Rizqi sosok
tinggi yang tegap sedang memimpin dan membawa semua orang masuk kedalam
kesejukannya. Ada rasa penyesalan jika aku tidak terlalu cepat pasti aku akan
berada di barisan putri yang berada dibelakangnya untuk ikut serta di dalam
jamaah berasa mereka yang sedang dipimpinnya.
Mungkin suatu hari nanti ada waktu
dimana hanyalah aku yang berada dibelakangnya, dan bersalaman mengecup
tangannya, setelah salam kedua.
”Ahh
aku berfikir apa sih.” Gumamku meninggalkan tempatku dan mengikuti Dimas.
~~~
“Rara,
Dimas datang.” Ibu setengah berteriak
Tepat
pukul tujuh malah aku baru selesai melaksanakan sholat isya, kupanjatkan doa
seadanya dan memenuhi panggilan Ibu yang tidak henti-hentinya memanggilku.
“Mau
apa kamu?” Aku bertanya ketus.
“Eeh,
Rara, bukannya disuruh duduk malah di omelin gitu.” Ibu meletakan minuman dan
camilan dimeja.
“Duduk Mas Dimas.” Ibu mempersilahkan duduk dan aku masih berdiri bingung.
“Sekarang
Mas Dimas jarang main kerumah Rara ya. Nakal sih Raranya ya.” Ibu berbasa-basi.
“Rani
dari dulu nakal Bu. Tapi Dimas lagi sibuk Bu jadi jarang main.” Dimas menjawab.
“Sibuk
apa, sibuk pacaran itu Bu.” Aku ikut duduk dibangku yang berbeda dengan Dimas.
“Ra,
Ibu mau kerumah Simbah sama Bapak, kamu disini sama Mas Dimas ya. Mas Dimas
tungguin Rara ya, jangan ribut terus tapi.” Ibu meninggalkan ruang tamu kami
berdua hanya mengangguk setuju.
“Ngapain
sih?” Aku bertanya sebal karena istirahatku terganggu.
“Ngapel
lah kan besok libur.” Jawab Dimas santai sambil membuka tasnya.
“Pulang
aja sana.” Usirku.
“Tadi
ga dengar aku suruh nemenin Rani.” Dimas mengeluarkan laptop dan perlengkapannya.
“Ooh,
bilang ya dari tadi. Lain kali kalo mau kesini bilang dulu ya Bang, sms kek apa
kek.” Aku mengerti apa yang dimaksud dan berlalu kekamar mengambil laptop.
“Nih
Bang.” Aku menyodorkan laptop dengan tugas yang dimaksud.
“Pakai
ini.” Dimas memberiku kerudung instan berwarna abu-abu muda.
“Apa
ini Bang?” Aku melihatnya dan mulai memakainya.
“Imut”
Dimas menggumam tanpa menatapku dan berfokus pada tugas yang tadi kutunjukan.
“Nyuri
dari mana Bang?” Tanyaku penasaran.
“Ibu,
punya Ibu tidak dipakai.” Jawab Dimas santai.
“Masa
sih.?” Semakin penasaran, dan kuendus bau kerudung pemberian Dimas.
Dalam
hatiku bergumam, semakin ku endus kerudung ini semakin aku tahu bahwa ini
adalah kerudung baru, dan bagaimana mungkin ini punya Ibu Dimas, karena modelnya
tidak akan cocok, biasanya model ini sedang pasaran di gunakan oleh anak
sekolah menyesuaikan seragam sekolahnya bukan untuk seorang Ibu yang sudah
memasuki umur lebih dari separuh baya.
“Hebat.” Dimas mengabaikanku dan bertepuk tangan akan
tugas yang sedang ia baca.
“Itu
dikoreksi bukan di tepuk tangani.”
“Berarti
sudah selesai dong, kamu memang selalu jenius. Kapan si kamu mempersiapkannya
kok ga ngajak aku.” Jawab Dimas santai dan masih fokus dengan layar.
“Laah,
kamu kalo diajak ngerjain bareng malah tidur, klo ga ya pacaran. Hufft.” Aku
memalingkan wajahku.
“Siapa
yang pacaran?” Dimas masih tidak melihatku.
“Lah
kamu sih sama Kak Putri, kemarin ajah aku ditinggal kencan” Jawabku serius.
“Aku
ga pacaran sama Dia.” Dimas mulai beralih kepadaku.
“Loohh
kok, katanya dulu pacaran.” Aku bingung.
“Sudah
lama aku tidak pacaran.” Jawabannya santai dan beralih pada handphonenya.
Aku
hanya terdiam bingung mau bertanya apa lagi. Bagaimana mungkin tadi saja mereka
berdua terlihat begitu mesra. Tetapi aku yakin didalam candanya Dimas tidak
pernah berbohong kecuali untuk ungkapan-ungkapan gombalnya padaku jika dikelas.
Karena Dia akan menjadi seorang kakak yang baik ketika hanya ada aku dan dia.
“IIH
Bang, Jangan main HP terus. Dikoreksi dong biar kaya kerja kelompok, sebel
banget sih kelompokan sama kamu. Liat apa sih” Aku pindah duduk dibangkunya dan
merebut HPnya.
“Laah
liatin foto aku.” Aku melihat Dimas sedang melihat akun sosmedku. Ada aku dan
Fatimah yang berfoto untuk hari pertamaku berjilbab di kampus.
“Cantik
kan.?” Aku kembali memperlihatkan wajah kami kepada Dimas.”
‘Woow.”
Dimas memberi ekspresi datar, namun ada tatapan yang tertuju dari gambar yang
kutunjukan.
“Apa
kamu sedang jatuh cinta lagi Bang, cerita dong?” Aku memaksa.
“Mungkin.”
Jawabnya datar.
“Siapa
bang kasih tau, Bang Dim udah bilang ke orangnya belum?” Semakin penasaran.
“Sepertinya
dia tidak ingin pacaran. Apa lagi denganku.” Dimas kembali meraih handphonenya
dari tanganku.
“Masalah
yang rumit. Tapi setidaknya diungkapkan saja Bang dari pada dipendam sendiri.
Setidaknya gadis itu tahu kalo Bang Dim yang ganteng ini tertarik dengannya.
Satu lagi selama sejarah percintaan kan Bang Dim belum pernah tertolak.” Aku
menggurui.
“Tahu
apa kamu.” Dimas kembali fokus dengan handphonenya.
Suasana
menjadi hening, aku memikirkan sesuatu. Sepertinya aku mulai tahu siapa gadis
itu. Fatimah dalam batinku memikirkan dirinya. Aku yakin pujiannya tadi WooOw ditujukan kepadanya. Aku pun
sering mendekatkan Dimas pada Fatimah begitu juga sebaliknya. Memang Fatimah
adalah gadis yang sulit, dia adalah gadis yang menjaga dirinya dengan baik.
Baik tutur katanya dan sikapnya. Gadis sholeha seperti dia tidak akan mau
diajak berpacaran, dan satu lagi hal yang ku ketahui ada rahasia antara Fatimah
dan Rizqi. Sejenak aku merasa iba pada Dimas yang sepertinya dia harus
merasakan cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, entah mengapa ada suatu
kelegaan yang kecil.
“Ahaa,
langsung saja dinikahi Bang.” Aku menyeletuk seenaknya.
“Sudah
saya pikirkan sejak lama.” Jawabnya datar.
Keheningan
pun kembali terjadi. Candaan kembali ringan seperti biasa setelah pembicaraan
yang sepertinya belum harus ku bicarakan dengan seorang Dimas terlalihkan
dengan tugas yang harus bisa dikumpulkan hari selasa. Pukul sembilan lebih lima
belas menit Ayah dan Ibu pulang dari rumah Nenek, dan begitu juga Dimas yang
berpamitan setelah selesai menjalankan amanah Ibuku dan Dosen tentunya.
Setelah
semuanya berakhir, aku merebahkan tubuhku di ranjang dan memaikan handphoneku
untuk sekedar menghiasi pembaharuan rekanku di social media dengan memasang
emoticon bingung seperti yang sedang kurasakan. Klung klung. Handponeku berbunyi bergantian.
Dimas
Al Fikri
Tidur.
Iya
:p
Sudah malam tuh matamu udah kaya
gitu kok.
Tumben
perhatian, makasih Bang kerudungnya. <3
Ga suka liat rambutmu yang
berantakan.
Tapi
cantik kan :D
Dirumah ga dirumah, aku kan cowok
Rani.
Iya
iyaa..
Jangan bapper.
Yeeee..
Ku
menunggu balasan beberapa menit, sepertinya memang tidak akan dibalas karena
sudah lama ia baca pesanku terakhir, kualihkan pada pesan yang lain.
Fatimah
Assamu
alaikum wr. wb
Sudah
gak zaman galau-galauan,
Punya
masalah dengan cinta?
Mari
kita datangi dokter ahlinya!
Sabtu,
17 Desember 2015, pelataran
Perpus
Utama pukul 16.00 pembicara
Ust.
Muhammad Wahyudin dengan tema
“Ada
Apa dengan Cinta?”
Semoga
Allah senantiasa memberi Rahmat
dan
ampunannya kepada kita semua.
Aamiin.
Wa salamu alaikum wr. wb
???
Ikut yuk Ra.
Besok?
Yaaps.
Insha
Allah
Hanphoneku
kembali sunyi tidak ada lagi pesan yang bergulir meramaikan. Akhirnya mungkin
aku besok bisa mengikuti acara ini. Selama aku berkuliah, Fatimah selalu
mengajakku ke acara ini, namun aku selalu menolaknya karena saat itu aku tidak
mengenakan kerudung seperti yang lainnya. Saat ini mungkin aku bisa, aku sangat
bahagia menerima kenyataan ini hingga tak terasa mataku berembun dan
mengalirkan hujan sesaat.
Tidak
terasa aku masih mengenakan kerudung pemberian Dimas, entah mengapa aku malah
memikirkan hal lain. Kejadian pagi tadi yang berhasil menghentikan nafasku
sejenak. Mata itu sangat tajam, sorotnya menyampaikan sesuatu yang berhasil
sampai ditempat kecil yang tersembunyi dalam diriku. Ada getaran setelahnya,
sungguh hebat perasaan itu hingga aku tidak mampu lagi menahannya hanyalah
merah menyala pipiku setelahnya.
“Astahgirullah.”
Aku menghela nafas.
Sejenak
aku menyalahkan diriku yang telah hanyut dalam kesesatan. Mata itu berhasil
menjadi senjata berbahaya bagi kaum hawa. Mampu membawaku ke suasana dimana aku
akan lebih berharap pada suatu ciptaanNya. Kekosongan ini berhasil di rasuki
syetan sesaat tadi, hingga istighfar menghentikan lajunya agar tidak mengotori
dan meracuni lebih dalam lagi.
Esoknya
aku menunggu Fatimah menjemputku untuk menghadiri kajian yang sudah kami bahas
semalam. Kali ini aku benar-benar hampir mirip seperti Fatimah, mengenakan baju
yang serba longgar dengan rok dan kerudung pemberian Dimas yang menutupi dada. Rasanya
diri ini ingin mengenakan ini hari ini, karena diperkumpulan itu, tidak ada
yang berpenampilan sepertiku. Malu rasanya jika aku tetap seperti biasa bersama
mereka. Nyatanya ini lebih nyaman dari pada pakaian-pakaianku sebelumnya.
“Assalamu
alaikum Rara.” Fatimah memasuki gerbang rumahku.
“Wa
alaikum salam. Yuuk langsung.” Aku menggandengannya menuju ke sepeda motornya.
“Semangat
banget, hari ini kamu cantik banget Ra, ada apa ini?” Fatimah menggodaku.
“Biasa
aja” Aku berpaling agar Fatimah tidak tahu bahwa aku tersipu.
Sesampainya
disana sudah ada banyak mahasiswa dan mahasiswi yang duduk beralaskan tikar
seadanya terpisah menjadi dua bagian, untuk laki-laki dan perempuan. Mereka
berbincang bincang menunggu pembicara yang hadir. Ku lihat mereka bersalaman
setiap kali ada yang baru hadir, begitu juga aku dan Fatimah melakukan hal yang
sama.
“Assalamu
alaikum Fat, wah dek Rara ya.” Salah satu rekan Fatimah menyalami.
“Wa
alaikum salam, iya kak. Rara kak.” Aku memperkenalkan diri.
“Syifa,
Dek Fatimah sering sekali cerita Rara, ternyata memang cantik ya.” Syifa
memuji.
Pukul
setengah empat pembicara belum juga datang, meski terlihat peserta sudah
memenuhi tempat hingga harus di pasangkan lagi tikar untuk beberapa yang
datang.
Assalamu alaikum wr. wb. Seorang
moderator membuka salam dengan salam yang santai tetapi mantap. Suara yang
tidak asing lagi meski terdengar baru tapi ku kenali. Bagaimana tidak dia
adalah seorang Rizqi Fatkhah, dan yang membuatku terheran ada Dimas
disampingnya dan juga pembicara yang sedang dengan seksama mendengar pembukaan
dari moderator. Aku tidak menyadari keberadaan mereka. Jika memang aku tahu ini
terjadi pasti aku tidak ingin menghadiri acara ini. Karena ada seseorang yang
sedang berbicara dengan suaranya seolah berbisik padaku untuk memikirkan
hal-hal yang tidak perlu. Dalam hati ku beristighfar berusaha keras untuk
menghentikan apa yang menjadikan nafasku sesak. Hingga Surah Ar-Rahmaan Ayat 1
– 10 menenangkanku.
Kali
ini Dimas yang membacakannya, perasaan ini lebih menusuk dari sebelumnya. Lagu
cinta yang diciptakan olehnya membuat semua orang yang mendengarnya bergetar.
Angin seakan berhembus pelan menelusuri lorong telinga yang tadinya kosong kini
menjadi berisi dengan asmaNya. Sungguh dahsyat sehingga membuat setiap ayat
yang terdengar menjadi lebih puitis dibandingkan ciptaaan seorang pujangga,
menjadi terdengar lebih merdu dibandingkan dengan komposisi lagu dengan alat
music yang lengkap. Satu lagi yang tertinggal, aku baru tahu sisi lain dari
Dimas.
Tertunduk
hanya yang bisa ku lakukan saat ini, ada seorang laki-laki disana yang hanya duduk
disampingnya saja mungkin aku tidak bisa. Ada sesuatu yang membuatku sangat
kesal entah apa aku tidak tahu. Pipiku memanas, mataku terasa hangat, ada yang
tidak bisa tertahan. Aku sangat merasa bersalah saat ini karena aku mengaggumi
seseorang, dan seorang itu adalah yang juga di segani oleh sahabatku sendiri
Fatimah. Aku ingin bercerita padanya tetapi bagaimana lagi dalam hati aku hanya
bisa bergumam, semoga apa yang disemogakan tidak hanya menjadi semoga.
0 comments:
Post a Comment