Saturday, September 10, 2016

Cup of Coffee 4#

CINTA

Dosalah aku yang telah terjatuh
Hanya dengan mata aku terjerat
Hanya dengan suara aku tertipu
Aku tidak tahu mengapa
Namun aku melihat syurga disana

Meski ku tidak tahu tentang kehendak
Bolehkan aku berharap?
Yang Maha Mendengar
Kaulah satu-satunya tempat bercerita

Degupan ini semakin cepat
Ketika mata itu berhasil mencuri mata ini
Bagaimana bisa aku seorang pendosa
Mengalihkan pandangannya dariMu

Maafkan aku yang tidak tahu diri
Siapalah aku yang tidak mengenalMu
Sedangkan ia selalu tersipu dalam sajadahnya
Bermunajah mengharap yang terbaik untuknya

Mungkinkah aku menjadi jawaban dari doaNya?
Sedang aku hanyalah pendosa yang pelupa
Tentang kasih sayang dan segala pemberianMu
Dan juga tentang fitrah ini yang tertuju untuk makhlukMu


Aku menghela nafas panjang, akhirnya pertemuan sabtu ini sudah berakhir. Ada perasaan yang berkecamuk yang menyelinap. Tikar sudah terlipat kembali, aku masih menunggu Fatimah yang membantu panitia untuk membereskan kembali setelah acara. Tertunduk aku menunggu Fatimah, aku takut ada sesuatu yang tidak bisa ku kendalikan. Tersisa hanya beberapa perempuan disini, tidak seperti laki-laki yang jumlahnya masih genap, tidak ada yang undur diri setelah acara selesai. Oleh karenanya, aku berusaha untuk tidak melihat sekelilingku berharap Fatimah cepat selesai dengan urusannya, karena membantunya aku tidak bisa, barang bawaannya sedang dititipkan olehku.

“Assalamu alaikum” Derap kaki mendekat, ada dua laki-laki yang mendekat padaku.

“Wa alaikum salam” Tersentak setelah aku melihat siapa yang menghampiriku.

“Eh iya, Bang ada apa?” Aku gugup dan berusaha membuat mataku tidak bertemu.

“Ooh, ini yang namanya Rara.” Temannya menimpali.

“Iya Bang, ada perlu apa ya?” Ku jawab sekenannya.

“Ini, kamu belum mengisi absensi Dik.” Rizqi menyodoriku map berisi daftar hadir.

“Tapi aku bukan panitia Bang.” Aku menerima dengan bingung.

“Ooh itu diisi semua yang hadir disini.” Rizqi menjelaskan.

“Oohh, iya Bang.” Aku mengisi identitasku.

“Nihh Bang.” Aku menyerahkan mapku kembali.

“Makasih ya Dik.” Rizqi menerima map dan salam sembari berlalu.

Mataku mencari Fatimah yang menurutku sudah terlalu lama untukku menunggu, dan rasa tidak sabar ini akhirnya menemukannya. Kudapati ia sedang berbicara dengan seseorang, tidak biasanya aku melihatnya berani berbicara seperti itu dengan seseorang apa lagi dia laki-laki dan laki-laki itu adalah Dimas. Memang benar dugaanku seperti yang kurasakan selama ini. Akhir-akhir ini Dimas sudah tidak seterbuka dulu. Handphonenya yang seringkali ku bawa berhari-hari, kini sangat sulit ku sentuh. Sepertinya dia memang menyimpan rahasia, begitu juga dengan Fatimah, mereka berdua mencurigakan. Tidak salah lagi, mereka yang saling berkirim pesan dari yang kulihat tidak sengaja dari pemberitahuan pesan masuk adalah jawaban dari kejadian sore ini. Fatimah tersenyum, begitu juga dengan Dimas. Lalu bagaimana denganku?

“Woy pacaran terus, ayook pulang Kak.” Aku mendekati Fatimah tanpa menatap Dimas.

“Yuuk” Fatimah mengiyakan permintaanku.

Banyak kebingungan hari ini, entah apa yang ku pikirkan semuanya menjadi berkabut tidak ku mengerti, banyak pertanyaan yang tidak bisa ku pertanyakan. Berdiamlah yang hanya bisa ku lakukan. Selama perjalanan aku hanya diam dan merespon seadanya Fatimah yang sedari tadi membahas materi yang tadi diterangkan oleh Ust. Muhammad Wahyudin yakni tentang cinta. Hingga tak terasa perjalanan yang hanya ditempuh lima belas menit itu serasa berjam-jam aku ingin cepat pulang dan berbaring. Harapanku terjawab tanpa menunggu waktu yang lama. Akhirnya aku sampai didepan gerbang rumahku.

“Ra, kamu baik-baik saja?” Tanya Fatimah gelisah.

“Iya” Aku mengangguk dan turun dari sepeda motor Fatimah.

“Kamu bingung?” Tanya Fatimah.

Aku menggeleng.

“Ada yang ingin kau tanyakan? Kembali Fatimah bertanya.

Lagi-lagi kepalaku secara otomatis menggeleng.

“Ya sudah, aku pulang dulu ya.” Pamit Fatimah.

Aku mengangguk.

“Assalamu alaikum.” Fatimah berlalu dengan bingung.

“Wa alaikum salam.” Jawabku sekenanya, dalam hatiku bergumam ada apa denganku? Bahkan aku tidak menawarinya untuk masuk.

“Astagfirullah hal adzim.” Aku menghela nafas panjang dan masuk ke dalam rumah.


Setelah sholat Isya aku berbaring dikursi ruang tamu, sembari memengangi handphone. Liburan semester sudah tiba, aku ingin beristirahat seperti ini, mengistirahatkan segala beban kuliah dan beban yang saat ini sedang berputar-putar menjadi prasangka-prasangka yang belum tentu kebenarannya.

Teringat materi yang tadi disampaikan Ust. Muhammad Wahyudin “Jika cinta maka menikahlah, itu adalah sebaik-baiknya cara untuk mengungkapkan rasa cinta terhadapNya, dan makhluk ciptaanNya.” Kata-kata itu meliuk-liuk memenuhi isi otak hingga tidak berfikir jernih. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri tentang apa yang dirasakan oleh aku sendiri terhadap perasaan yang akhir-akhir ini berhasil merasuki hati ini.


Klung, Klung, Klung


Pesan baru masuk memecah lamunanku, segera ku periksa siapa yang mengirimiku pesan. Aku menduga Fatimah dan Dimas seperti biasa. Namun aku terperanjat dari posisi tidurku di kursi, karena bukan Dimas, tertulis disana Rizqi Fatkhah. Tentu saja dia tahu kontakku karena aku telah terdaftar menjadi seseorang yang hadir dalam acara sore tadi, karenanya pasti mereka menghubungi mereka yang sudah pernah hadir agar bisa menghubungi kembali dengan mudah, begitu juga dengan Rizqi yang bertugas membagikan pesan kepada peserta kajian.

Meski aku tahu semua itu karena penjelasan dari Fatimah, tetapi aku tetap penasaran dengan pesan apa yang dikirim oleh seorang Rizqi Fatkhah kepada para peserta kajian. Motivasikah? Tetap saja aku lebih dahulu membuka pesan dari Rizqi.


Rizqy Fatkhah.
Assalamu alaikum Dik Rara.


Ahh mungkin ini hanya sapaan untuk para peserta. Gumamku pesimis, bagaimana Rizqi akan menyapaku seperti ini, karena dia akan melakukan ini pada semua peserta, namun tetap saja hati ini berdegup lebih cepat dari biasanya, bingung harus membalas apa sedangkan pesan ini sudah terlanjur ku baca, akan tidak etis jika dia sudah tahu pesannya telah terbaca namun tidak memberikan jawaban.


Cantika Maharani
Wa alaikum salam wr. wb, ada apa Bang Fatkhah.


Cepat-cepat ku matikan handphoneku. Aku takut menerima kenyataan bahwa pesan itu memang benar hanya untuk menyapa semua peserta seperti biasa. Penasaran adalah reaksi setelahnya berkali-kali aku menyalakan dan mematikan handphoneku namun tidak kunjung ada balasan dari Rizqi. Hingga akhirnya aku menyerah dan membiarkan handphone itu menyala tanpa melihat pesan dari Fatimah.


Klung


Bunyi itu membuatku kembali bangkit dan cepat-cepat meraih handphoneku yang ku jauhkan ketika ku sudah menyerah menunggu.


Dimas Al Fikri
Assalamu alaikum
Aku udah di depan


Terkejut seperti biasa dengan kelakuan Dimas, yang meski ia selalu melakukan hal seperti ini. Kali ini aku cepat-cepat meraih kerudungku dan menemuinya didepan.

“Wa alaikum salam.” Aku membuka pintu dan Dimas hanya tersenyum melihat ekspresi jutekku.

“Aku kopi tanpa gula.” Dimas duduk tanpa ku suruh.

“Nggih Den Mas.” Aku kesal, tetapi aku tersenyum tidak seperti biasanya.

Dua cangkir kopi dan camilan disajikan di meja. Seperti biasa tawa mengisisi ruang tamu yang tadinya dingin menjadi hangat.


Klung


Bunyi itu terlupakan, dan tanpa berfikir aku membuka pesan itu tanpa kegelisahan yang sedari tadi aku rasakan tentang banyaknya pertanyaan apa bahasan yang akan berlanjut dari beberapa pesan selanjutnya.


Rizqi Fatkhah
Aku ingin memaksakan kehendak,
Meski takdir nantinya berbicara,
Setidaknya perkenankan aku untuk egois,
Tentang sebuah kekaguman,
Yang akan berakhir dengan kebaikan.



“Rani.” Seseorang menegurku.

“Ehh iya.” Aku terkejut dan seketika mematikan handphoneku.

Ada kecanggungan kali ini, ada rasa bersalah yang tidak dapat ku jelaskan. Sepertinya aku telah mengkhianati sesorang yang ku percaya dengan ketidakjujuran perasaanku terhadap seseorang. Ingin aku menceritakan pada Dimas namun aku bingung harus kapan dan bagaimana memulainya.

“Dari siapa?” Dimas meminum tehnya.

“Fatkhah” Jawabku meranum.

“Cieeee.” Dimas menggoda.

“Ngapain kamu kesini Bang?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Ngapel apa ga boleh?” Jawab Dimas ketus.

“Ya boleeh lahh, kan Abang emang harus nemenin Adek.” Godaku.

“Sebelum kamu bertanya, aku akan bercerita.” Dimas mulai serius.

“Apa?” Tanyaku penasaran.

Pembicaraan mengenai keberadaan dirinya tadi sore. Tentang dirinya yang selama ini yang telah lama mengikuti kajian rutin. Dimas adalah salah satu anggota dari keoraganisasian Islam, ia mulai aktif setelah terakhir putus dengan Putri. Dia memberikan penjelasan mengenai dirinya yang gelisah setelah putus cinta dengan Putri karena sesuatu yang tidak ia jelaskan. Di waktu itu adalah waktu dimana Dimas bertemu dengan Rizqi yang saat itu juga mengajaknya untuk mengikuti kajian. Setelah saat itu Dimas mulai aktif dalam kegiatan organisasi itu. Semua itu adalah alasan mengapa akhir-akhir ini Dimas jarang berkunjung dirumahku.

Kejujurannya membuatku malu, karena aku tidak bisa dengan jelas berbicara mengenai perasaanku terhadap Rizqi yang sampai saat ini tidak bisa ku ceritakan, meski Dimas selalu mempercayaiku untuk mendengar ceritanya yang belum tentu orang tuanya ketahui. Hatiku berdegup tidak seperti biasanya, tanganku membeku tidak tahu sebabnya. Otak ini sudah banyak merangkai kata, menyusunnya menjadi rangkaian yang bisa menjelaskan bagaimana kondisiku saat ini, tetapi bibirku membisu seketika melihat Dimas yang tersenyum tulus bercerita.

Satu hal lagi yang membuatku malu, Dimas adalah orang yang lebih baik dari yang ku bayangkan. Meskipun ia seringkali menggodaku, aku tahu dia anak yang baik, dan dia mendahuluiku untuk berproses menjadi pribadi yang lebih baik lagi dariku. Aku salut dengan keberaniannya mengakhiri hubungannya dengan Putri gadis cantik yang menjadi idaman banyak pria, demi memperbaiki diri. Bagaimana denganku? Yang malah sedang berboros ria dengan mengagumi seseorang yang belum tentu juga membalas perasaanku.

“Astaghfirullah hal adzim.” Aku menghela nafas panjang.

“Kenapa?” Tanya Dimas.

Aku menggeleng.

“Aku tahu” Dimas menerka.

“Baiklah aku mengaku” Aku menghela nafas panjang.

“Aku menyukai Bang Fakthah.” Aku tertunduk

Dimas menghela nafas panjang.

“Aku sudah tahu.” Jawabnya cepat.

“Sejak kapan?” Tanyaku penasaran.

“Sudahlah jangan dipikirkan, aku tahu apa yang Adikku mau dan suka?” Dimas menjawab tanpa menatapku.

Entah mengapa ada yang hilang dari reaksinya, aku merasa bersalah. Aku tahu Dimas akan kecewa karena aku tidak mengungkapkan yang sebenarnya, dan juga ada yang hilang ketika Dimas mengusap kepalaku gemas jika mengungkapkan hal seperti itu. Iya mungkin dia juga sudah mulai memperbaiki diri dan menjaga jarak dengan lawan jenis agar tidak tercipta fitnah.

“Apa kira-kira rasa sukaku sia-sia?” Tanyaku lugu.

“Wanita cukuplah menunggu, jaga hatimu sampai waktu itu memperbolehkanmu berhenti untuk menunggu” Dimas serius.

“Tumben bener. Heheh” Aku terkekeh, dan suasana menjadi kembali hangat.

“Lalu bagaimana dengan gadis yang pernah kau ceritakan?” Tanyaku penasaran.

“Sepertinya kau benar cintaku bertepuk sebelah tangan.” Jawab Dimas lesu.

“Bagaimana mungkin seorang Abang Dimas secemen ini.” Aku menyemangati.

“Lalu aku harus bagaimana Adek Cantik?” Dimas tersenyum.

“Ungkapkan saja, meskipun pada akhirnya dia tidak memilihmu. Setidaknya ada kelegaan setelahnya, dan tentunya bisa mengurangi rasa sakitmu bila nanti melihat dirinya bersama seseorang yang ia pilih.” Jawabku menggurui.

“Benarkah?” Dimas memincingkan mata kearahku.

“Sekarang apa yang akan kamu lakukan Bang?” Tanyaku penasaran.

“Melamarnya.” Jawabnya datar.

Satu kata yang berhasil membuat jantung ini memompa lebih cepat dari sebelumnya. Sedikitpun beban tidak tergambar dari caranya mengungkapkan keinginannya. Kata-kata yang tidak pernah terduga keluar dari seorang Dimas yang kukenal tidak pernah seserius ini dari sebelumnya. Benarkah dia benar-benar serius? Pertanyaan itu berputar-putar diotakku. Disisi lain, aku memikirkan Fatimah yang terkejut dan haru mendengar pernyataan Dimas. Aku tahu tidak mungkin ada penolakan dari Fatimah, karena Fatimah juga memiliki ketertarikan yang tinggi dengan Dimas.

Haru sudah tergambar menghiasi wajah Fatimah yang meranum menitikan beberapa air mata bahagia menerima kedatangan Dimas bersama keluarga untuk mengungkapkan cintanya. Betapa bahagianya Fatimah ada seseorang yang benar-benar mencintainya hingga ia begitu menghormatinya dengan cara melamarnya, tanpa harus melakukan pendekatan yang dinamakan Pacaran seperti anak muda kebanyakan.

Satu pertanyaan lagi, apa yang dimaksud bertepuk sebelah tangan? Apa Fatimah benar-benar menyukai Rizqi seperti yang terlihat seperti sebelumnya. Kekaguman Fatimah terhadap Rizqi tidak dapat dipungkiri. Setiap kali bersamaku ia selalu bercerita tentang Rizqi dari kebaikan dan keburukannya yang membuatku semakin kagum terhadap Rizqi. Namun jika itu benar, aku akan siap mengundurkan diri. Karena ku tahu, tidak ada gadis yang lebih baik dari Fatimah untuk Rizqi.

Mereka berdua adalah orang-orang agamis, yang juga memiliki latar belakang keluarga yang sama, keduanya sudah terbiasa hidup di lingkungan pesantren. Bagaimana tidak, kedua orang tua mereka memiliki pondok pesantren yang terkenal, dan mereka juga aktif dalam kegiatan keagamaan di kampus dan diluar kampus. Benar-benar pasangan yang serasi, karena ku sadar orang yang baik akan dipertemukan dengan yang baik. Lalu bagaimana dengan Dimas yang sepertinya serius dengan Fatimah, ia juga laki-laki yang baik.


Dan juga bagaimana denganku, yang masih dalam masa memantaskan diri?







0 comments:

Post a Comment