CINTA
Dosalah aku yang telah terjatuh
Hanya dengan mata aku terjerat
Hanya dengan suara aku tertipu
Aku tidak tahu mengapa
Namun aku melihat syurga disana
Meski ku tidak tahu tentang
kehendak
Bolehkan aku berharap?
Yang Maha Mendengar
Kaulah satu-satunya tempat
bercerita
Degupan ini semakin cepat
Ketika mata itu berhasil mencuri
mata ini
Bagaimana bisa aku seorang pendosa
Mengalihkan pandangannya dariMu
Maafkan aku yang tidak tahu diri
Siapalah aku yang tidak mengenalMu
Sedangkan ia selalu tersipu dalam
sajadahnya
Bermunajah mengharap yang terbaik
untuknya
Mungkinkah aku menjadi jawaban dari
doaNya?
Sedang aku hanyalah pendosa yang
pelupa
Tentang kasih sayang dan segala
pemberianMu
Dan juga tentang fitrah ini yang
tertuju untuk makhlukMu
Aku
menghela nafas panjang, akhirnya pertemuan sabtu ini sudah berakhir. Ada
perasaan yang berkecamuk yang menyelinap. Tikar sudah terlipat kembali, aku
masih menunggu Fatimah yang membantu panitia untuk membereskan kembali setelah
acara. Tertunduk aku menunggu Fatimah, aku takut ada sesuatu yang tidak bisa ku
kendalikan. Tersisa hanya beberapa perempuan disini, tidak seperti laki-laki
yang jumlahnya masih genap, tidak ada yang undur diri setelah acara selesai.
Oleh karenanya, aku berusaha untuk tidak melihat sekelilingku berharap Fatimah
cepat selesai dengan urusannya, karena membantunya aku tidak bisa, barang
bawaannya sedang dititipkan olehku.
“Assalamu
alaikum” Derap kaki mendekat, ada dua laki-laki yang mendekat padaku.
“Wa
alaikum salam” Tersentak setelah aku melihat siapa yang menghampiriku.
“Eh
iya, Bang ada apa?” Aku gugup dan berusaha membuat mataku tidak bertemu.
“Ooh,
ini yang namanya Rara.” Temannya menimpali.
“Iya
Bang, ada perlu apa ya?” Ku jawab sekenannya.
“Ini,
kamu belum mengisi absensi Dik.” Rizqi menyodoriku map berisi daftar hadir.
“Tapi
aku bukan panitia Bang.” Aku menerima dengan bingung.
“Ooh
itu diisi semua yang hadir disini.” Rizqi menjelaskan.
“Oohh,
iya Bang.” Aku mengisi identitasku.
“Nihh
Bang.” Aku menyerahkan mapku kembali.
“Makasih
ya Dik.” Rizqi menerima map dan salam sembari berlalu.
Mataku
mencari Fatimah yang menurutku sudah terlalu lama untukku menunggu, dan rasa
tidak sabar ini akhirnya menemukannya. Kudapati ia sedang berbicara dengan
seseorang, tidak biasanya aku melihatnya berani berbicara seperti itu dengan
seseorang apa lagi dia laki-laki dan laki-laki itu adalah Dimas. Memang benar
dugaanku seperti yang kurasakan selama ini. Akhir-akhir ini Dimas sudah tidak
seterbuka dulu. Handphonenya yang seringkali ku bawa berhari-hari, kini sangat
sulit ku sentuh. Sepertinya dia memang menyimpan rahasia, begitu juga dengan
Fatimah, mereka berdua mencurigakan. Tidak salah lagi, mereka yang saling
berkirim pesan dari yang kulihat tidak sengaja dari pemberitahuan pesan masuk
adalah jawaban dari kejadian sore ini. Fatimah tersenyum, begitu juga dengan
Dimas. Lalu bagaimana denganku?
“Woy
pacaran terus, ayook pulang Kak.” Aku mendekati Fatimah tanpa menatap Dimas.
“Yuuk”
Fatimah mengiyakan permintaanku.
Banyak
kebingungan hari ini, entah apa yang ku pikirkan semuanya menjadi berkabut
tidak ku mengerti, banyak pertanyaan yang tidak bisa ku pertanyakan. Berdiamlah
yang hanya bisa ku lakukan. Selama perjalanan aku hanya diam dan merespon
seadanya Fatimah yang sedari tadi membahas materi yang tadi diterangkan oleh
Ust. Muhammad Wahyudin yakni tentang cinta. Hingga tak terasa perjalanan yang
hanya ditempuh lima belas menit itu serasa berjam-jam aku ingin cepat pulang
dan berbaring. Harapanku terjawab tanpa menunggu waktu yang lama. Akhirnya aku
sampai didepan gerbang rumahku.
“Ra,
kamu baik-baik saja?” Tanya Fatimah gelisah.
“Iya”
Aku mengangguk dan turun dari sepeda motor Fatimah.
“Kamu
bingung?” Tanya Fatimah.
Aku
menggeleng.
“Ada
yang ingin kau tanyakan? Kembali Fatimah bertanya.
Lagi-lagi
kepalaku secara otomatis menggeleng.
“Ya
sudah, aku pulang dulu ya.” Pamit Fatimah.
Aku
mengangguk.
“Assalamu
alaikum.” Fatimah berlalu dengan bingung.
“Wa
alaikum salam.” Jawabku sekenanya, dalam hatiku bergumam ada apa denganku?
Bahkan aku tidak menawarinya untuk masuk.
“Astagfirullah hal adzim.” Aku
menghela nafas panjang dan masuk ke dalam rumah.
Setelah
sholat Isya aku berbaring dikursi ruang tamu, sembari memengangi handphone.
Liburan semester sudah tiba, aku ingin beristirahat seperti ini,
mengistirahatkan segala beban kuliah dan beban yang saat ini sedang berputar-putar
menjadi prasangka-prasangka yang belum tentu kebenarannya.
Teringat
materi yang tadi disampaikan Ust. Muhammad Wahyudin “Jika cinta maka
menikahlah, itu adalah sebaik-baiknya cara untuk mengungkapkan rasa cinta
terhadapNya, dan makhluk ciptaanNya.” Kata-kata itu meliuk-liuk memenuhi isi
otak hingga tidak berfikir jernih. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri
tentang apa yang dirasakan oleh aku sendiri terhadap perasaan yang akhir-akhir
ini berhasil merasuki hati ini.
Klung, Klung, Klung
Pesan
baru masuk memecah lamunanku, segera ku periksa siapa yang mengirimiku pesan.
Aku menduga Fatimah dan Dimas seperti biasa. Namun aku terperanjat dari posisi
tidurku di kursi, karena bukan Dimas, tertulis disana Rizqi Fatkhah. Tentu saja
dia tahu kontakku karena aku telah terdaftar menjadi seseorang yang hadir dalam
acara sore tadi, karenanya pasti mereka menghubungi mereka yang sudah pernah
hadir agar bisa menghubungi kembali dengan mudah, begitu juga dengan Rizqi yang
bertugas membagikan pesan kepada peserta kajian.
Meski
aku tahu semua itu karena penjelasan dari Fatimah, tetapi aku tetap penasaran
dengan pesan apa yang dikirim oleh seorang Rizqi Fatkhah kepada para peserta
kajian. Motivasikah? Tetap saja aku
lebih dahulu membuka pesan dari Rizqi.
Rizqy
Fatkhah.
Assalamu
alaikum Dik Rara.
Ahh mungkin ini hanya sapaan untuk
para peserta. Gumamku pesimis, bagaimana Rizqi akan
menyapaku seperti ini, karena dia akan melakukan ini pada semua peserta, namun
tetap saja hati ini berdegup lebih cepat dari biasanya, bingung harus membalas
apa sedangkan pesan ini sudah terlanjur ku baca, akan tidak etis jika dia sudah
tahu pesannya telah terbaca namun tidak memberikan jawaban.
Cantika
Maharani
Wa
alaikum salam wr. wb, ada apa Bang Fatkhah.
Cepat-cepat
ku matikan handphoneku. Aku takut menerima kenyataan bahwa pesan itu memang
benar hanya untuk menyapa semua peserta seperti biasa. Penasaran adalah reaksi
setelahnya berkali-kali aku menyalakan dan mematikan handphoneku namun tidak
kunjung ada balasan dari Rizqi. Hingga akhirnya aku menyerah dan membiarkan
handphone itu menyala tanpa melihat pesan dari Fatimah.
Klung
Bunyi
itu membuatku kembali bangkit dan cepat-cepat meraih handphoneku yang ku
jauhkan ketika ku sudah menyerah menunggu.
Dimas
Al Fikri
Assalamu alaikum
Aku udah di depan
Terkejut
seperti biasa dengan kelakuan Dimas, yang meski ia selalu melakukan hal seperti
ini. Kali ini aku cepat-cepat meraih kerudungku dan menemuinya didepan.
“Wa
alaikum salam.” Aku membuka pintu dan Dimas hanya tersenyum melihat ekspresi
jutekku.
“Aku
kopi tanpa gula.” Dimas duduk tanpa ku suruh.
“Nggih
Den Mas.” Aku kesal, tetapi aku tersenyum tidak seperti biasanya.
Dua
cangkir kopi dan camilan disajikan di meja. Seperti biasa tawa mengisisi ruang
tamu yang tadinya dingin menjadi hangat.
Klung
Bunyi
itu terlupakan, dan tanpa berfikir aku membuka pesan itu tanpa kegelisahan yang
sedari tadi aku rasakan tentang banyaknya pertanyaan apa bahasan yang akan
berlanjut dari beberapa pesan selanjutnya.
Rizqi
Fatkhah
Aku ingin memaksakan kehendak,
Meski takdir nantinya berbicara,
Setidaknya perkenankan aku untuk
egois,
Tentang sebuah kekaguman,
Yang akan berakhir dengan kebaikan.
“Rani.”
Seseorang menegurku.
“Ehh
iya.” Aku terkejut dan seketika mematikan handphoneku.
Ada
kecanggungan kali ini, ada rasa bersalah yang tidak dapat ku jelaskan.
Sepertinya aku telah mengkhianati sesorang yang ku percaya dengan
ketidakjujuran perasaanku terhadap seseorang. Ingin aku menceritakan pada Dimas
namun aku bingung harus kapan dan bagaimana memulainya.
“Dari
siapa?” Dimas meminum tehnya.
“Fatkhah”
Jawabku meranum.
“Cieeee.”
Dimas menggoda.
“Ngapain
kamu kesini Bang?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Ngapel
apa ga boleh?” Jawab Dimas ketus.
“Ya
boleeh lahh, kan Abang emang harus nemenin Adek.” Godaku.
“Sebelum
kamu bertanya, aku akan bercerita.” Dimas mulai serius.
“Apa?”
Tanyaku penasaran.
Pembicaraan
mengenai keberadaan dirinya tadi sore. Tentang dirinya yang selama ini yang
telah lama mengikuti kajian rutin. Dimas adalah salah satu anggota dari
keoraganisasian Islam, ia mulai aktif setelah terakhir putus dengan Putri. Dia
memberikan penjelasan mengenai dirinya yang gelisah setelah putus cinta dengan
Putri karena sesuatu yang tidak ia jelaskan. Di waktu itu adalah waktu dimana
Dimas bertemu dengan Rizqi yang saat itu juga mengajaknya untuk mengikuti
kajian. Setelah saat itu Dimas mulai aktif dalam kegiatan organisasi itu. Semua
itu adalah alasan mengapa akhir-akhir ini Dimas jarang berkunjung dirumahku.
Kejujurannya
membuatku malu, karena aku tidak bisa dengan jelas berbicara mengenai
perasaanku terhadap Rizqi yang sampai saat ini tidak bisa ku ceritakan, meski
Dimas selalu mempercayaiku untuk mendengar ceritanya yang belum tentu orang
tuanya ketahui. Hatiku berdegup tidak seperti biasanya, tanganku membeku tidak
tahu sebabnya. Otak ini sudah banyak merangkai kata, menyusunnya menjadi
rangkaian yang bisa menjelaskan bagaimana kondisiku saat ini, tetapi bibirku
membisu seketika melihat Dimas yang tersenyum tulus bercerita.
Satu
hal lagi yang membuatku malu, Dimas adalah orang yang lebih baik dari yang ku
bayangkan. Meskipun ia seringkali menggodaku, aku tahu dia anak yang baik, dan
dia mendahuluiku untuk berproses menjadi pribadi yang lebih baik lagi dariku.
Aku salut dengan keberaniannya mengakhiri hubungannya dengan Putri gadis cantik
yang menjadi idaman banyak pria, demi memperbaiki diri. Bagaimana denganku? Yang
malah sedang berboros ria dengan mengagumi seseorang yang belum tentu juga
membalas perasaanku.
“Astaghfirullah
hal adzim.” Aku menghela nafas panjang.
“Kenapa?”
Tanya Dimas.
Aku
menggeleng.
“Aku
tahu” Dimas menerka.
“Baiklah
aku mengaku” Aku menghela nafas panjang.
“Aku
menyukai Bang Fakthah.” Aku tertunduk
Dimas
menghela nafas panjang.
“Aku
sudah tahu.” Jawabnya cepat.
“Sejak
kapan?” Tanyaku penasaran.
“Sudahlah
jangan dipikirkan, aku tahu apa yang Adikku mau dan suka?” Dimas menjawab tanpa
menatapku.
Entah
mengapa ada yang hilang dari reaksinya, aku merasa bersalah. Aku tahu Dimas
akan kecewa karena aku tidak mengungkapkan yang sebenarnya, dan juga ada yang
hilang ketika Dimas mengusap kepalaku gemas jika mengungkapkan hal seperti itu.
Iya mungkin dia juga sudah mulai memperbaiki diri dan menjaga jarak dengan
lawan jenis agar tidak tercipta fitnah.
“Apa
kira-kira rasa sukaku sia-sia?” Tanyaku lugu.
“Wanita
cukuplah menunggu, jaga hatimu sampai waktu itu memperbolehkanmu berhenti untuk
menunggu” Dimas serius.
“Tumben
bener. Heheh” Aku terkekeh, dan suasana menjadi kembali hangat.
“Lalu
bagaimana dengan gadis yang pernah kau ceritakan?” Tanyaku penasaran.
“Sepertinya
kau benar cintaku bertepuk sebelah tangan.” Jawab Dimas lesu.
“Bagaimana
mungkin seorang Abang Dimas secemen ini.”
Aku menyemangati.
“Lalu
aku harus bagaimana Adek Cantik?” Dimas tersenyum.
“Ungkapkan
saja, meskipun pada akhirnya dia tidak memilihmu. Setidaknya ada kelegaan
setelahnya, dan tentunya bisa mengurangi rasa sakitmu bila nanti melihat dirinya
bersama seseorang yang ia pilih.” Jawabku menggurui.
“Benarkah?”
Dimas memincingkan mata kearahku.
“Sekarang
apa yang akan kamu lakukan Bang?” Tanyaku penasaran.
“Melamarnya.”
Jawabnya datar.
Satu
kata yang berhasil membuat jantung ini memompa lebih cepat dari sebelumnya.
Sedikitpun beban tidak tergambar dari caranya mengungkapkan keinginannya.
Kata-kata yang tidak pernah terduga keluar dari seorang Dimas yang kukenal
tidak pernah seserius ini dari sebelumnya. Benarkah dia benar-benar serius? Pertanyaan
itu berputar-putar diotakku. Disisi lain, aku memikirkan Fatimah yang terkejut
dan haru mendengar pernyataan Dimas. Aku tahu tidak mungkin ada penolakan dari
Fatimah, karena Fatimah juga memiliki ketertarikan yang tinggi dengan Dimas.
Haru
sudah tergambar menghiasi wajah Fatimah yang meranum menitikan beberapa air
mata bahagia menerima kedatangan Dimas bersama keluarga untuk mengungkapkan
cintanya. Betapa bahagianya Fatimah ada seseorang yang benar-benar mencintainya
hingga ia begitu menghormatinya dengan cara melamarnya, tanpa harus melakukan
pendekatan yang dinamakan Pacaran seperti anak muda kebanyakan.
Satu
pertanyaan lagi, apa yang dimaksud bertepuk sebelah tangan? Apa Fatimah
benar-benar menyukai Rizqi seperti yang terlihat seperti sebelumnya. Kekaguman
Fatimah terhadap Rizqi tidak dapat dipungkiri. Setiap kali bersamaku ia selalu
bercerita tentang Rizqi dari kebaikan dan keburukannya yang membuatku semakin
kagum terhadap Rizqi. Namun jika itu benar, aku akan siap mengundurkan diri.
Karena ku tahu, tidak ada gadis yang lebih baik dari Fatimah untuk Rizqi.
Mereka
berdua adalah orang-orang agamis, yang juga memiliki latar belakang keluarga
yang sama, keduanya sudah terbiasa hidup di lingkungan pesantren. Bagaimana
tidak, kedua orang tua mereka memiliki pondok pesantren yang terkenal, dan
mereka juga aktif dalam kegiatan keagamaan di kampus dan diluar kampus. Benar-benar
pasangan yang serasi, karena ku sadar orang yang baik akan dipertemukan dengan
yang baik. Lalu bagaimana dengan Dimas yang sepertinya serius dengan Fatimah,
ia juga laki-laki yang baik.
Dan juga bagaimana denganku, yang
masih dalam masa memantaskan diri?
0 comments:
Post a Comment