Tentang seorang gadis yang mengartikan
sebuah genggaman. Berasal dari beberapa puisi yang membuat harinya merona,
memberikan harapan kepadanya akan terisinya sela jari dengan jari sang pujangga
setelah ikrar atas nama agama. Namun apa yang terjadi? rangkaian kata yang
membuatnya terlena dan berbuah senyum yang
manis kini membuat hatinya teriris. Kata ambigu berisi tentang
pengungkapan yang disembunyikan dari tiap bait yang tertata mampu membuatnya
berkaca, bukan karena bahagia melainkan terluka.
Sang Pujangga pernah berkata “Aku sudah
tidak tahan lagi untuk tidak menyebut namamu di sepertiga malamku.”
Setelah itu Sang Gadis pun berfikir
untuk lebih baik menjaga dan menata hati agar keduanya tidak bertemu dalam
lingkaran yang merupakan suatu pelanggaran. Berharap, doa itu akan berakhir
dengan keberkahan dan kebahagiaan seperti apa yang telah di perjuangkan dalam
setiap doa di waktu ijabah.
Nyatanya bisu itu disalahartikan.
Namanya (gadis itu) yang tadinya selalu terselip
dalam setiap karya, dalam waktu beberapa hari tidak lagi terlihat. Gadis itu
kini hanyalah bagian dari karya Sang Pujangga yang telah lalu. Karena untuk
waktu yang dekat akan ada seseorang yang tidak hanya mendapatkan rayu dari
lagu, melainkan sesuatu yang berkilauan di jari manis seseorang itu sebagai
tanda penyempurna agama antara Sang Pujangga dan Sang Inspirasi baru.
Puisi memanglah nampak nyata,
Layaknya
doa dengan beribu pengharapan,
Tidak
selamanya harapan itu adalah sebuah jawaban,
Karena ketetapanNya itulah yang menjadi sebuah kepastian.
0 comments:
Post a Comment