Pada akhirnya
Air mata itu menunjukan
kepedihannya
Di hari
pertama semester baru dibangku sekolah dulu, Aku melihat sosok yang berbeda
diantara yang lainnya. Mengalihkan pandanganku pada seseorang yang menyita
waktu. Dia ada disana duduk terdiam di
bangku paling belakang di antara sekian kegaduhan di ruang kelas. Matanya bulat
dan rambutnya kecoklatan membuat Dia terlihat mencolok di bandingkan yang
lainnya. Namun, ketika Dia mulai berbicara, semuanya menjadi berubah. Suaranya terlalu
lantang dan berisik. Dia ngomel sana sini tanpa lelah setelah bertemu teman
lama. Ahh, seketika dia sudah tidak lagi menyita perhatianku.
Semakin
hari Dia semakin menyebalkan, sifatnya terlalu kekanakan. Dia menjadi sangat
mengganggu. Berisik dan sering membuat masalah denganku dan juga yang lainnya.
Tetapi entah bagaimana, kita malah menjadi sangat dekat. Dia bukan gadis yang
cantik, Dia biasa saja, bahkan sampai sekarang Dia masih seperti itu dengan
dirinya yang cerewet dan menyebalkan. Dia yang seperti itu yang membuatku
cemburu. Tidak ada yang spesial dari dirinya, namun sebagai laki-laki Aku
merasa hal tersebutlah yang membuatku tertarik, kemungkinan besar laki-laki
lainpun bisa merasakannya.
Lagi-lagi Dia berhasil mencuri
perhatianku...
Secara perlahan Aku terperangkap..
Dan mulai memberanikan diri..
Hingga Dia mengangguk pertanda iya..
Menerimaku sebagai laki-lakinya..
Seperti
kisah yang lainnya. Sudah tidak menyenangkan ketika Aku sudah mendapatkan apa
yang Aku harapkan, karena kisah terbaik adalah bagaimana perjuangan sebelum
mendapatkan sebuah hasil. Aku mulai bosan dengannya, jarang menghubunginya...
dan mulai bertanya apa Dia benar-benar menyukaiku. Tidak ada respon apapun dari
kebosanannku. Seperti biasa Dia tetap menanyakan bagaimana kabarku jika Aku
lupa tidak menghubunginya. Aku lupa,
karena ada yang lebih menarik dibandingkan dengannya waktu itu.
Bosan itu menghancurkanku...
Untuk
pertama kalinya, setelah berpisah sekolah kita memutuskan bertemu. Dia sangat
lucu, malu-malu dan bahkan tidak berani memandangku. Duduk bersebelahan Dia pun
memilih untuk berdiri. Lucu sekali, saat itu Dia meranum, pipi padatnya
menyembul. Dia terlihat senang tetapi Aku sibuk sendiri dengan hal yang
menyenangkan lainnya. Hal yang menyenangkan menurutku itu akhirnya menghentikan
senyum lugunya. Pipinya masih menyembul dan bibirnya masih tersenyum, wajahnya
pun masih meranum tetapi matanya berkaca, setelah melihat beberapa pesan
singkat di telepon genggamku. Saat ku tanya Dia hanya menggeleng dan berkata “tidak
apa-apa” sambil tersenyum. Jawaban itu membuatku berfikir “ya sudahlah, biarkan
saja.”
Aku mengkhianatinya.
Sepulang
dari itu, Aku mendapatkan pesan ucapan terima kasih dan ungkapan bahagia
darinya. Menurutku itu sangat berlebihan. Tetapi Aku juga senang bertemu
dengannya hari itu. Setelah hari itu kebosananku terkurangi, Aku semakin rindu
dengannya. Tetapi kesibukan kita membuat kita jarang bertemu. Hingga kebosanan
itu datang lagi dan Aku mulai bermain api.
Aku merasa
menjadi laki-laki jahat waktu itu, Aku mengakhiri hubungan kita secara sepihak.
Dia tidak tahu menahu tetang itu. Aku merasa tersakiti dengan tuduhanku sendiri
yang tidak jelas tetangnya. Aku tidak pernah memikirkan apa yang Dia rasakan
atas perlakuanku. Setahuku Dia yang salah, tanpa ingin tahu apa pun darinya. Aku
meninggalkannya tanpa kejelasan. Beberapa kali membolak-balikan hatinya dalam
waktu yang lama. Aku menikmati bermain api dengan yang lainnya. Dalam waktu
yang tidak sebentar, Aku kembali datang dalam kehidupannya.
Ah,
Dia terlihat sangat senang ketika mendapatkan pesanku lagi. Tetapi jahatnya
Aku, setelah itu Aku memakinya dengan tidak jelas, Aku tidak tahu apa yang
sedang Ku lakukan waktu itu. Aku benar-benar tidak memikirkannya sama sekali.
Hingga suatu hari, Dia mulai muak dengan kelakuannku, kesabarannya mulai habis.
Dengan mudahnya Aku meminta maaf dan ingin kembali.
Lalu apa yang terjadi?
Dengan bahagia Dia menerimaku kembali, Dia
bahkan berterima-kasih karena Aku kembali padanya.
Oh
Tuhan apa yang sudah Aku lakukan pada gadis ini. Saat itu, Aku berjanji pada
diriku sendiri untuk tidak melakukannya lagi. Tetapi apa yang terjadi Aku
bahkan berhasil membuatnya tidak percaya lagi dengan yang namanya Cinta.
Kita
beranjak dewasa. Aku sangat menyayangi gadis itu begitu juga dengannya sudah
jangan ditanya lagi. Kita mulai merancang harapan indah bersama. Aku berjanji
padanya untuk hidup bersama dengannya. Tetapi lama kelamaan Aku mulai merasa
teralu dituntut olehnya. Ini dan itu, dengan egois Dia memaksakan kehendakku
untuk memiliki jalan pikiran yang sama dengannya. Aku yang waktu itu berfikir
Dia terlalu egois, Dia tidak memikirkan keadaanku sama sekali. Dia tidak pernah
merasakan bagaimana rasanya untuk meraih apa yang Dia inginkan. Hingga
berkali-kali tanpa sadar Aku menyakitinya dengan perlakuan dan perkataanku.
Ternyata gadis kecil itu sudah berubah..
Wanitaku mulai lelah...
Dia mulai
bertanya, apa Aku menjadikannya sebagai bagian dari tujuan hidupku. Dia
memintaku untuk memastikan keseriusanku di depan orangtuanya. Karena Dia sudah
lelah. Aku yang waktu itu, tidak punya keberanian untuk maju. Melihat keadaanku
yang tidak pantas untuknya, Aku tidak bisa memenuhi keinginannya. Aku menyerah
dan akhirnya kita memutuskan untuk mengakhiri semua ini.
Lagi-lagi
Aku yang mengedepankan emosi, melihat Dia yang sangat egois. Tidak memikirkan
Aku yang saat ini sedang berjuang. Dia tidak memikirkan kemampuanku yang
sebatas ini. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Lagi-lagi aku menyakitinya
dengan kata-kataku. Tetapi dengan sabar, Dia tetap berada disampingku,
menenangkanku, dan memberikanku waktu. Tanpa kekuarangan kasih sayangnya kita
tetap mejalani hubungan penuh kasih yang bahkan lebih besar dari sebelumnya.
Kita mulai memahami dan berpikir lebih dewasa jika ada masalah. Tetap saja, Dia
hanya diam ketika Aku memakinya bahkan Dia mengiyakan apa yang Aku katakan
padanya untuk menenangkanku. Terus menerus, hingga Aku sadar tempat penampungan
itu hampir penuh.
Dia
mulai berubah. Menjadi lebih mendominasi dan mengedepankan emosi. Dia mulai
berani menyangkal pernyataanku jika tidak sesuai dengan yang Ia rasakan. Namun
tetap saja, rasa sayangnya padaku membuatnya akhirnya mengalah dan memilih
untuk diam dan membiarkanku memperlakukannya seenaknya. Semakin hari Dia
semakin memojokanku, seoalah Dia ingin meninggalkanku dan pergi dengan
seseorang yang lain yang sesuai dengan harapannya. Hingga akhirnya keluarlah
pernyataan yang tidak menyenangkan yang membuat wanitaku yang tidak pernah
bicara menjadi berbicara.
Dia wanitaku datang padaku
Bercerita tetang kepedihannya
Perih yang Ia pendam selama ini
Dan hanya Dia yang merasakan sendiri
Wanitaku yang selalu tersenyum saat
bersamaku
Kini sedang menangis tanpa suara
Tanpa berkata kini Aku sangat tahu
Betapa deras perih yang ia derita
Rasanya
sesak melihat wanitaku menahan tangisnya. Dengan terbata dia tersenyum namun
air matanya deras tidak mau berhenti. Dia mulai mengungkapkan satu persatu apa
yang Dia rasakan selama ini dari sisi yang belum pernah Aku lihat sebelumnya.
Dia bercerita betapa sakitnya Dia dipertemuan pertama dengannya Aku malah sibuk
sendiri dengan gadis lain. Bahkan Dia juga menangis seketika ketika tahu dari
temanku bahwa Aku mengakhiri hubungan sepihak tanpa sepengetahuannya. Senyumnya
terlihat jelas ketika bercerita betapa senangnya ketika Dia bisa melihat Aku
diperjalanan berangkat dan pulang sekolah meski hanya melihat dari balik kaca
busnya waktu itu. Betapa bahagianya ketika Aku kembali padanya.
Nafasku
semakin sesak melihatnya tersenyum dengan air matanya yang semakin deras.
Semakin sesak setelah tahu Dia selalu menutupi keburukanku di depan
orangtuanya. Dia menuntutku untuk membuktikan bahwa Aku layak untuknya di depan
orangtuanya. Meski Aku selalu menyerah sebelum mencoba, Dia tidak pernah lelah
walau akhirnya pasti rasa pesimisku membuatnya kecewa. Aku tidak pernah berfikiran
jauh sampai seperti itu, yang Aku tahu Dia wanita egois yang memaksakan
kehendaku untuk menjadi seperti apa yang Ia inginkan. Ternyata Dia hanya ingin
tetap bersamaku.
Tubuhku
menjadi tidak bertenaga, ketika Dia sudah mulai tersedu dan berkali-kali
mengucapkan kata lelah. Semakin tidak berdaya ketika Dia mengungkapakan ada
beberapa pria yang berani mengungkapkan keseriusannya di depan orangtuanya. Aku
harus bagaimana, Aku hanya bisa terdiam melihat wanitaku yang biasanya
tersenyum ketika bertemu, meksipun kita bertengkar hebat malamnya. Aku bahkan
tidak menyadari mata bulatnya berubah menjadi terlihat selalu letih dan
mengantuk. Aku hanya diam ketika Dia memukuliku lirih tanpa tenaga. Aku
berfikir apa Dia selalu menangis seperti ini sendiri dan Aku tidak pernah tahu.
Dia terus memukuliku hingga dengan berat Dia mengeraskan suaranya “Lalu
bagaimana denganmu jika Aku dengan orang lain, Aku tidak bisa membanyangkan
betapa sakitnya itu.” Setelah ucapan itu terucap Dia hanyut dalam tangisannya
yang semakin dalam menunduk dan menutupi wajahnya.
Bahkan
sampai akhir pun, Dia hanya memikirkan perasaanku.
0 comments:
Post a Comment