Hari ini kau kembali di hadapanku
Pagi yang kuharapkan adalah kelabu
Bagaimana caranya aku berterima kasih
Kau sudah terlanjur haru dan menangis
Tepat pukul enam,
Yang tertinggal hanyalah sepi,
Tepat pukul enam,
Kehangatan itu datang kembali
Seperti
biasa aku terbangun paling akhir, entah mengapa di tempat ini aku menjadi
sangat manja. Jika belum ada yang memanggil dan menemuiku tak akan ku beranjak
dari ranjangku. Tempat yang tak pernah berubah sejak dulu, meski kini lebih nyaman,
tetapi tetaplah memiliki rasa yang sama. Ketenangan ku dapat dari tempat ini,
karena di tempat ini aku akan menjadi diriku dengan segenap perasaanku yang apa
adanya tanpa kebohongan sediktipun.
“Sayang
bangun.” Suara itu selalu mampu membangunkanku dan kecupannya membuatku
beranjak dari ranjangku, begitulah pagiku setiap hari. Seorang ibu yang dengan
sabar membangunkanku, meski sebenarnya aku juga sudah terbangun sedari tadi,
karena aku tidak mau sedetikpun melewatkan kopi pagi hari ini.
Harum
khas kopi panas menyegarkanku setelah ku membersihkan muka. Iya kali ini adalah
waktunya ngopi. Satu gelas mengepul penuh untuk kami bertiga Ayah, Ibu, dan Aku
tentunya. Ku beri tahu sebuah rahasia, tubuhku ini tidak menerima kopi, karena
setiap kali meminumnya aka nada mual setelahnya. Namun, hanya dengan ini aku
bisa mendengar banyak hal yang belum kuketahui, berbagi apa yang tak pernah ku
sampaikan, dalam waktu yang singkat, yakni hingga tersisa ampas pekat dibawah
gelas. Meminumnya, membuatku mengingat mereka, Ayah, Ibu, dan setiap momen aku
menikmatinya. Jika segelas kopi sudah tidak bisa dinikmati, maka aku harus
menerima inilah waktunya kalian untuk pergi.
Tepat
pukul enam semuanya menjadi sepi. Lampu ruang tengah yang terang kini mati,
meski ada cahaya matahari ruangan ini menjadi sangat gelap tanpa adanya segelas
kopi. Mereka semua pergi dan meninggalkanku di tempat ini bersama kenangan dan
harapan akan cerita menyenangkan setelah mereka keluar dan berpamitan.
Ku
raih sepedaku, ku kejar perlahan mobil jemputan Ibuku, meski hanya bisa ku
lihat dirinya dari kejauhan, setidaknya aku bisa melihatnya lebih lama,
beberapa menit, detik, hingga hilang dari jangkauan kakiku yang tidak bisa
mengayuh lebih cepat dari mesin beroda empat itu. Ku lanjutkan dengan berputar
mengelilingi desa yang seringkali aku rindukan. Hijaunya lautan emas petani
yang menjadi satu satunya harapan mereka untuk kehidupan selanjutnya merupakan
sumber ketenangan di pagi hari yang jauh dari keramaian. Tempat yang selalu ku
rindukan, dimana ada suara indah saluran irigasi yang berpadu dengan kicauan
burung pagi serta lukisan alam yang tiada duanya. Pengunungan dan matahari,
berpadu apik hingga aku tidak bisa berpaling sebelum fajar diatas kepalaku.
Selain
mereka yang kurindu, ada satu lagi yang membuatku tidak bisa beranjak dari
tempat ini yakni embun. Embun pagi ini selalu misterius, ia menghalangiku untuk
meihat seseorang dari kejauhan, ia hanya mengizinkan aku melihat seseorang yang
melewatiku dari dekat, itu sangat membantuku agar aku mengenali dan bisa
menyapa tanpa salah aku menyebutkan namanya. Dia tidak ingin aku menerka siapa
yang datang dari kejauhan. Dia tidak memperlihatkan bayang seseorang dari
kejauhan, hingga ku berfikir dia yang mengenakan sepeda tua sedang
menghampiriku, dan akan membuatku tidak lagi sendiri seperti dulu ketika dia
datang dari kerumunan embun di ujung sana, menyapaku dan mengajaku untuk
menikmati pagi dengan dua sepeda.
Begitulah
embun, tidak ingin aku bersedih dengan banyak berharap pada bayang dari
kejauhan. Hingga matahari menyadarkanku dengan sombong bersinar dan melenyapkan
embunku, mengingatkanku agar aku kembali ke tempat di mana ku meraih sepedaku
pertama kali.
Nafas
panjang selalu berhembus ketika berhasil ku kembali. Rumah ini masih terkunci
seperti terakhir kali aku menguncinya. AKu kembali melakukan aktivitasku
seperti biasa, ku nyalakan music metalika nada tinggi agar ada yang menemaniku
ketika ku bekerja membereskan rumah seperti biasanya. Setelah selesai ku
kerjakan pekerjaanku, ku matikan musiku, dan kembali keruanganku. Ruang gelap
yang dihuni oleh aku saja. DI tempat ini aku merasakan ada pengamanan yang luar
biasa agar aku tidak pernah melihat ke pintu berharap ada seseroang yang
mengetuk pintu dan tersenyum padaku dengan berkata “Boleh main.”
Hanya
anganku saja, setelah pukul enam ada orang yang datang berkunjung sekedar
bermain catur ataupun monopoli. Menghabiskan pagi dengan kue tradisional yang
hangat dan menggiurkan diwarnai tawa yang tidak pernah berhenti setiap kali
kita memaninkan permainan yang ku miliki. Nyatanya itu tidak terjadi setiap
hari, tidak juga setiap bulan, bahkan dalam setahun terkadang hal itu tidak
pernah terjadi. Ada apa denganku, apa aku takut? Aku tidak pernah takut, karena
ada kehangatan tepat pukul enam nanti.
Keadaan
ini tidak membuatku sedih, karena dengan ini aku merasa menjadi sosok yang
kuat. Aku mengunci diriku di ruanganku, memang keadaan ini tidak pernah
membuatku sedih, tetapi menangis bukanlah suatu pelanggaran. Bersembunyi di
balik selimut, berbicara dengan beberapa bonekaku, meluapkan kesepian ini
dengan mereka. AKu menginginkan teman bicara, mereka adalah pendengar yang
baik, yang senantiasa mendengarkanku ketika ku sedih dan bahagia, patah hati
maupun jatuh cinta. Setelah berbagi air mata, rasanya mereka terlihat murung
tidak seperti biasanya. Ahh mungkin aku sudah gila.
Memang
orang sering mengataiku begitu, seringkali aku melakukan hal-hal yang gila.
Terkadang aku sendiri tidak percaya dengan apa yang ku lalui sesuatu hal yang
tidak mungkin bisa terjadi dalam kisah hidupku, aku ingin tidak percaya, orang
lain juga tidak mempercayainya, namun banyak saksi mata yang bahkan tidak
percaya namun mengakui bahwa itu benar adanya. Pasti sudah tertebak, mengapa
aku melakukan hal demikian, demi sebuah perhatian? Iya betul sekali.
Aku
ingin semua orang memperhatikanku, meski hanya memaki setidaknya ada seseorang
yang menyapaku. Aku menyadari dan sangat menyadari aku bukanlah seseorang yang
istimewa, tetapi perbolehkan aku menginginkan kalian menjadi temanku. Rasanya aku
tidak memiliki teman sama sekali, sekedar menanyakan kabar tentang keadaanku
dan bagaimana rasa kesepianku.
Ahh
lupakan saja cerita sedih itu, lihatlah ada yang lebih bersedih disbanding aku
pagi ini…
Dia,
lihat langit pagi ini tidak seperti biasanya. Langit begitu murung meski tadi
sempat memberi kesempatan pada matahari untuk mengusir embun. Apa matahari
berbuat jahat padanya, dan apa yang terjadi kemurungan tadi semakin menjadi. Birunya
yang berubah menjadi abu pertanda ada yang sedang tertahan di atas sana, ada
kesedihan yang tidak pernah di mengerti, selalu saja awan kelabu itu menjadi
yang disalahkan bahkan tidak diharapkan. Apa lagi untuk kehadirannya sepagi
ini, orang berlalu lalang, khawatir akan datangnya Si Kelabu mengganggu
aktivitasnya. Mereka hanya bisa memaki, tanpa bisa mengerti kesedihan yang
sedang di alami
.
Tidak
berbeda denganku, awan itu hanya kesepian, ia ingin diperhatikan, meski
kehadirannya seringkali hanya menjadi beban dan bahkan bisa menciptkan
kebencian yang menyakitkan. Hai, awan kelabu, aku disini yang memandangimu dari
jendela ruang tamu sedang menunggu. Menunggu kesedihanmu, menangislah dan buat
aku tertawa. Tidak semua orang membenci adanya dirimu, karena aku disini selalu
menunggumu. Jadi luapkanlah kepedihan dan luka yang selama ini telah tertahan
dan kembalilah menjadi langit yang biru.
Seakan
awan tadi mendengar rayuanku, aku mendengar tetesan air mata jatuh bergantian.
Akhrinya kaupun menangis, lepaskanlah kepedihanmu, dan biarkan aku
menikmatinya. Karena aku adalah salah satu orang jahat yang senang dengan
kepedihanmu, karena ku tahu kepedihanmu hanya diharapkan ketika bumi ini sudah
tak terairi oleh air. Begitulah manusia yang tidak ingin pakaian dan riasannya
rusak karenamu. Tapi jangan pedulikan mereka hujan, karena aku disini
menunggumu, selalu menunggumu, di setiap pagi setelah pukul enam.
Dibalik
kaca ruang tamu, ku nikmati setiap rintik perlahan yang mulai kau tuangkan.
Setetes demi setetes menghasilkan nada khas yang membuatku lagi tak sendiri.
Adanya kamu pagi ini, berhasil membantuku menghindar dari sepi. Ku ambil penaku
dan mulai kurangkai kata yang boleh di bilang sebuah puisi. Terkadang lebih
dari sekedar itu, aku bercerita mengenai diriku atau imaginasi yang tidak
terkendali sesuka hatiku. Kesejukan ini membuatku tak bisa berhenti menuliskan
beberapa kata dengan ekspresi suka dan duka tanpa perlu bersembunyi agar tidak
dapat diketahui. Tangan ini tidak bisa berhenti mengumpulkan beberapa ekspresi
bagaimana ruangan ini hanya aku yang tinggali, Tepat pukul enam, yang tertinggal hanyalah sepi
Selamat pagi awan,
Mengapa kau hadir dan halangi
langit?
Bisakah kau pergi sebentar,
Jangan halangi dia karena semua
orang menginginkan kehadirannya pagi ini.
Hai awan, ada apa denganmu.?
Mengapa malah kau menjadi kelabu?
Apa aku membuatmu bersedih?
Bisakah kau bercerita sedikit
denganku?
Hai awan, mengapa kau menangis?
Apa kau bilang?
Kau ingin menghiburku?
Ku rasa itu tidak perlu.
Terima kasih.
Hari ini kau kembali di hadapanku
Pagi yang kuharapkan adalah kelabu
Bagaimana caranya aku berterima kasih
Kau sudah terlanjur haru dan menangis
Pagi hujan setelah pukul enam
Tidak perlu khawatir terhadap kesepian
Ruang gelap yang mengerikan
Tadinya penuh dengan kehangatan
Menangislah hingga nanti
Karena setiap tetesmu mengajakku berbicara
Mengenai beberapa hal rahasia
Bertahanlah hingga pukul enam selanjutnya
Izinkanlah aku melakukan hal serupa
Membuat bumi ini basah dengan kepedihan
Perbolehkan aku bersenandung
Karena aku tidak perlu bersembunyi dari siapapun
Ternyata
bukanlah sebuah puisi atau cerita deskripsi, itu hanya kata-kata kosong tak
bermakna. Mereka keluar begitu saja, deras mengikuti air yang juga semakin
deras menghujam bumi. Pagi ini tidak ada sisi langit yang terlihat biru. Apa
kau benar-benar sedih? Bisakah aku menghiburmu. Kau tahu hujan, mendekatlah dan
akan ku beritahu satu hal lagi.
Tidurlah,
dengan begitu kau akan mempercepat waktu tanpa kau melaluinya. Biarkan sepimu
berlalu dengan cepat, biarkan sedihmu tak kau rasakan tanpa harus berhadapan.
Itu adalah senjata rahasia yang ampuh digunakan untuk mengusir kesedihan, lebih
tepatnya menghindarinya. Meski itu akan kembali hadir setelah kau terbangun dan
membuka mata, setidaknya kau mampu mengulur waktu sedikit, untuk tidak
merasakannya, bisa disebut bersitirahat.
Tapi
meski begitu, aku tahu hujan, kau tidak bisa terlelap. Karena jika itu terjadi,
kau akan kehilangan dirimu dan berganti dengan langit yang biru. Kau tidak
dapat menunjukan lagi kepedihanmu, dan tentunya tidak lagi menemaniku. Jadi
untuk kali ini tetaplah bersedih, karena aku ingin sekali lagi bernyanyi,
karena saat ini sekeras apapun aku tidak perlu bersembunyi. Lindungilah aku,
dan jangan harap ada pelangi. Karena isakku mampu menahannya untuk membuatnya
berwarna seperti biasa. Jadi, yang kau lakukan saat ini dengarkanlah aku
bernyanyi dan jadilah nadaku, iringi aku dalam setiap lagu yang ku nyanyikan
bersama kepiluan disetiap detik kenangan yang sedang tergali dalam memori.
Tik,
tok, tik, tok.
Ku
dengar suara jam lirih mendayu membangunkanku. Ku lihat dia sebentar lagi
memotong menjadi dua bagian sama rata. “Sayang, Mamah pulang.” Aku berlari ke
arah pintu, mendapati bidadari yang lelah mencoba tersenyum dan mengecupku. Ku
lihat langit masih saja kelabu, hanya saja ini sudah tidak lagi pagi melainkan
petang. Ku lulurkan tanaganku merasakan tetesan lembut yang tidak lagi deras
seperti pagi tadi. Tepat pukul enam, kehangatan
itu datang kembali.
JRR
0 comments:
Post a Comment