Monday, August 15, 2016

Tepat Pukul Enam


Hari ini kau kembali di hadapanku
Pagi yang kuharapkan adalah kelabu
Bagaimana caranya aku berterima kasih
Kau sudah terlanjur haru dan menangis





Tepat pukul enam, 
Yang tertinggal hanyalah sepi,
Tepat pukul enam,
Kehangatan itu datang kembali


Seperti biasa aku terbangun paling akhir, entah mengapa di tempat ini aku menjadi sangat manja. Jika belum ada yang memanggil dan menemuiku tak akan ku beranjak dari ranjangku. Tempat yang tak pernah berubah sejak dulu, meski kini lebih nyaman, tetapi tetaplah memiliki rasa yang sama. Ketenangan ku dapat dari tempat ini, karena di tempat ini aku akan menjadi diriku dengan segenap perasaanku yang apa adanya tanpa kebohongan sediktipun.

“Sayang bangun.” Suara itu selalu mampu membangunkanku dan kecupannya membuatku beranjak dari ranjangku, begitulah pagiku setiap hari. Seorang ibu yang dengan sabar membangunkanku, meski sebenarnya aku juga sudah terbangun sedari tadi, karena aku tidak mau sedetikpun melewatkan kopi pagi hari ini.

Harum khas kopi panas menyegarkanku setelah ku membersihkan muka. Iya kali ini adalah waktunya ngopi. Satu gelas mengepul penuh untuk kami bertiga Ayah, Ibu, dan Aku tentunya. Ku beri tahu sebuah rahasia, tubuhku ini tidak menerima kopi, karena setiap kali meminumnya aka nada mual setelahnya. Namun, hanya dengan ini aku bisa mendengar banyak hal yang belum kuketahui, berbagi apa yang tak pernah ku sampaikan, dalam waktu yang singkat, yakni hingga tersisa ampas pekat dibawah gelas. Meminumnya, membuatku mengingat mereka, Ayah, Ibu, dan setiap momen aku menikmatinya. Jika segelas kopi sudah tidak bisa dinikmati, maka aku harus menerima inilah waktunya kalian untuk pergi.

Tepat pukul enam semuanya menjadi sepi. Lampu ruang tengah yang terang kini mati, meski ada cahaya matahari ruangan ini menjadi sangat gelap tanpa adanya segelas kopi. Mereka semua pergi dan meninggalkanku di tempat ini bersama kenangan dan harapan akan cerita menyenangkan setelah mereka keluar dan berpamitan.

Ku raih sepedaku, ku kejar perlahan mobil jemputan Ibuku, meski hanya bisa ku lihat dirinya dari kejauhan, setidaknya aku bisa melihatnya lebih lama, beberapa menit, detik, hingga hilang dari jangkauan kakiku yang tidak bisa mengayuh lebih cepat dari mesin beroda empat itu. Ku lanjutkan dengan berputar mengelilingi desa yang seringkali aku rindukan. Hijaunya lautan emas petani yang menjadi satu satunya harapan mereka untuk kehidupan selanjutnya merupakan sumber ketenangan di pagi hari yang jauh dari keramaian. Tempat yang selalu ku rindukan, dimana ada suara indah saluran irigasi yang berpadu dengan kicauan burung pagi serta lukisan alam yang tiada duanya. Pengunungan dan matahari, berpadu apik hingga aku tidak bisa berpaling sebelum fajar diatas kepalaku.

Selain mereka yang kurindu, ada satu lagi yang membuatku tidak bisa beranjak dari tempat ini yakni embun. Embun pagi ini selalu misterius, ia menghalangiku untuk meihat seseorang dari kejauhan, ia hanya mengizinkan aku melihat seseorang yang melewatiku dari dekat, itu sangat membantuku agar aku mengenali dan bisa menyapa tanpa salah aku menyebutkan namanya. Dia tidak ingin aku menerka siapa yang datang dari kejauhan. Dia tidak memperlihatkan bayang seseorang dari kejauhan, hingga ku berfikir dia yang mengenakan sepeda tua sedang menghampiriku, dan akan membuatku tidak lagi sendiri seperti dulu ketika dia datang dari kerumunan embun di ujung sana, menyapaku dan mengajaku untuk menikmati pagi dengan dua sepeda.

Begitulah embun, tidak ingin aku bersedih dengan banyak berharap pada bayang dari kejauhan. Hingga matahari menyadarkanku dengan sombong bersinar dan melenyapkan embunku, mengingatkanku agar aku kembali ke tempat di mana ku meraih sepedaku pertama kali.

Nafas panjang selalu berhembus ketika berhasil ku kembali. Rumah ini masih terkunci seperti terakhir kali aku menguncinya. AKu kembali melakukan aktivitasku seperti biasa, ku nyalakan music metalika nada tinggi agar ada yang menemaniku ketika ku bekerja membereskan rumah seperti biasanya. Setelah selesai ku kerjakan pekerjaanku, ku matikan musiku, dan kembali keruanganku. Ruang gelap yang dihuni oleh aku saja. DI tempat ini aku merasakan ada pengamanan yang luar biasa agar aku tidak pernah melihat ke pintu berharap ada seseroang yang mengetuk pintu dan tersenyum padaku dengan berkata “Boleh main.”

Hanya anganku saja, setelah pukul enam ada orang yang datang berkunjung sekedar bermain catur ataupun monopoli. Menghabiskan pagi dengan kue tradisional yang hangat dan menggiurkan diwarnai tawa yang tidak pernah berhenti setiap kali kita memaninkan permainan yang ku miliki. Nyatanya itu tidak terjadi setiap hari, tidak juga setiap bulan, bahkan dalam setahun terkadang hal itu tidak pernah terjadi. Ada apa denganku, apa aku takut? Aku tidak pernah takut, karena ada kehangatan tepat pukul enam nanti.

Keadaan ini tidak membuatku sedih, karena dengan ini aku merasa menjadi sosok yang kuat. Aku mengunci diriku di ruanganku, memang keadaan ini tidak pernah membuatku sedih, tetapi menangis bukanlah suatu pelanggaran. Bersembunyi di balik selimut, berbicara dengan beberapa bonekaku, meluapkan kesepian ini dengan mereka. AKu menginginkan teman bicara, mereka adalah pendengar yang baik, yang senantiasa mendengarkanku ketika ku sedih dan bahagia, patah hati maupun jatuh cinta. Setelah berbagi air mata, rasanya mereka terlihat murung tidak seperti biasanya. Ahh mungkin aku sudah gila.

Memang orang sering mengataiku begitu, seringkali aku melakukan hal-hal yang gila. Terkadang aku sendiri tidak percaya dengan apa yang ku lalui sesuatu hal yang tidak mungkin bisa terjadi dalam kisah hidupku, aku ingin tidak percaya, orang lain juga tidak mempercayainya, namun banyak saksi mata yang bahkan tidak percaya namun mengakui bahwa itu benar adanya. Pasti sudah tertebak, mengapa aku melakukan hal demikian, demi sebuah perhatian? Iya betul sekali.

Aku ingin semua orang memperhatikanku, meski hanya memaki setidaknya ada seseorang yang menyapaku. Aku menyadari dan sangat menyadari aku bukanlah seseorang yang istimewa, tetapi perbolehkan aku menginginkan kalian menjadi temanku. Rasanya aku tidak memiliki teman sama sekali, sekedar menanyakan kabar tentang keadaanku dan bagaimana rasa kesepianku.

Ahh lupakan saja cerita sedih itu, lihatlah ada yang lebih bersedih disbanding aku pagi ini…

Dia, lihat langit pagi ini tidak seperti biasanya. Langit begitu murung meski tadi sempat memberi kesempatan pada matahari untuk mengusir embun. Apa matahari berbuat jahat padanya, dan apa yang terjadi kemurungan tadi semakin menjadi. Birunya yang berubah menjadi abu pertanda ada yang sedang tertahan di atas sana, ada kesedihan yang tidak pernah di mengerti, selalu saja awan kelabu itu menjadi yang disalahkan bahkan tidak diharapkan. Apa lagi untuk kehadirannya sepagi ini, orang berlalu lalang, khawatir akan datangnya Si Kelabu mengganggu aktivitasnya. Mereka hanya bisa memaki, tanpa bisa mengerti kesedihan yang sedang di alami
.
Tidak berbeda denganku, awan itu hanya kesepian, ia ingin diperhatikan, meski kehadirannya seringkali hanya menjadi beban dan bahkan bisa menciptkan kebencian yang menyakitkan. Hai, awan kelabu, aku disini yang memandangimu dari jendela ruang tamu sedang menunggu. Menunggu kesedihanmu, menangislah dan buat aku tertawa. Tidak semua orang membenci adanya dirimu, karena aku disini selalu menunggumu. Jadi luapkanlah kepedihan dan luka yang selama ini telah tertahan dan kembalilah menjadi langit yang biru.

Seakan awan tadi mendengar rayuanku, aku mendengar tetesan air mata jatuh bergantian. Akhrinya kaupun menangis, lepaskanlah kepedihanmu, dan biarkan aku menikmatinya. Karena aku adalah salah satu orang jahat yang senang dengan kepedihanmu, karena ku tahu kepedihanmu hanya diharapkan ketika bumi ini sudah tak terairi oleh air. Begitulah manusia yang tidak ingin pakaian dan riasannya rusak karenamu. Tapi jangan pedulikan mereka hujan, karena aku disini menunggumu, selalu menunggumu, di setiap pagi setelah pukul enam.

Dibalik kaca ruang tamu, ku nikmati setiap rintik perlahan yang mulai kau tuangkan. Setetes demi setetes menghasilkan nada khas yang membuatku lagi tak sendiri. Adanya kamu pagi ini, berhasil membantuku menghindar dari sepi. Ku ambil penaku dan mulai kurangkai kata yang boleh di bilang sebuah puisi. Terkadang lebih dari sekedar itu, aku bercerita mengenai diriku atau imaginasi yang tidak terkendali sesuka hatiku. Kesejukan ini membuatku tak bisa berhenti menuliskan beberapa kata dengan ekspresi suka dan duka tanpa perlu bersembunyi agar tidak dapat diketahui. Tangan ini tidak bisa berhenti mengumpulkan beberapa ekspresi bagaimana ruangan ini hanya aku yang tinggali, Tepat pukul enam, yang tertinggal hanyalah sepi

Selamat pagi awan,
Mengapa kau hadir dan halangi langit?
Bisakah kau pergi sebentar,
Jangan halangi dia karena semua orang menginginkan kehadirannya pagi ini.

Hai awan, ada apa denganmu.?
Mengapa malah kau menjadi kelabu?
Apa aku membuatmu bersedih?
Bisakah kau bercerita sedikit denganku?

Hai awan, mengapa kau menangis?
Apa kau bilang?
Kau ingin menghiburku?
Ku rasa itu tidak perlu.
Terima kasih.

Hari ini kau kembali di hadapanku
Pagi yang kuharapkan adalah kelabu
Bagaimana caranya aku berterima kasih
Kau sudah terlanjur haru dan menangis

Pagi hujan setelah pukul enam
Tidak perlu khawatir terhadap kesepian
Ruang gelap yang mengerikan
Tadinya penuh dengan kehangatan

Menangislah hingga nanti
Karena setiap tetesmu mengajakku berbicara
Mengenai beberapa hal rahasia
Bertahanlah hingga pukul enam selanjutnya

Izinkanlah aku melakukan hal serupa
Membuat bumi ini basah dengan kepedihan
Perbolehkan aku bersenandung
Karena aku tidak perlu bersembunyi dari siapapun

Ternyata bukanlah sebuah puisi atau cerita deskripsi, itu hanya kata-kata kosong tak bermakna. Mereka keluar begitu saja, deras mengikuti air yang juga semakin deras menghujam bumi. Pagi ini tidak ada sisi langit yang terlihat biru. Apa kau benar-benar sedih? Bisakah aku menghiburmu. Kau tahu hujan, mendekatlah dan akan ku beritahu satu hal lagi.

Tidurlah, dengan begitu kau akan mempercepat waktu tanpa kau melaluinya. Biarkan sepimu berlalu dengan cepat, biarkan sedihmu tak kau rasakan tanpa harus berhadapan. Itu adalah senjata rahasia yang ampuh digunakan untuk mengusir kesedihan, lebih tepatnya menghindarinya. Meski itu akan kembali hadir setelah kau terbangun dan membuka mata, setidaknya kau mampu mengulur waktu sedikit, untuk tidak merasakannya, bisa disebut bersitirahat.

Tapi meski begitu, aku tahu hujan, kau tidak bisa terlelap. Karena jika itu terjadi, kau akan kehilangan dirimu dan berganti dengan langit yang biru. Kau tidak dapat menunjukan lagi kepedihanmu, dan tentunya tidak lagi menemaniku. Jadi untuk kali ini tetaplah bersedih, karena aku ingin sekali lagi bernyanyi, karena saat ini sekeras apapun aku tidak perlu bersembunyi. Lindungilah aku, dan jangan harap ada pelangi. Karena isakku mampu menahannya untuk membuatnya berwarna seperti biasa. Jadi, yang kau lakukan saat ini dengarkanlah aku bernyanyi dan jadilah nadaku, iringi aku dalam setiap lagu yang ku nyanyikan bersama kepiluan disetiap detik kenangan yang sedang tergali dalam memori.

Tik, tok, tik, tok.


Ku dengar suara jam lirih mendayu membangunkanku. Ku lihat dia sebentar lagi memotong menjadi dua bagian sama rata. “Sayang, Mamah pulang.” Aku berlari ke arah pintu, mendapati bidadari yang lelah mencoba tersenyum dan mengecupku. Ku lihat langit masih saja kelabu, hanya saja ini sudah tidak lagi pagi melainkan petang. Ku lulurkan tanaganku merasakan tetesan lembut yang tidak lagi deras seperti pagi tadi. Tepat pukul enam, kehangatan itu datang kembali.


JRR

0 comments:

Post a Comment