Cinta adalah rahasia, tak akan
terjawab oleh siapapun kecuali waktu. Meski waktu tak mempunyai jawaban itu,
percayalah, ia mengantarkanmu pada jawaban yang entah sedang kau nanti ataupun
yang tak kau ingini.
MENEMUKANNYA
Cinta adalah rahasia, tak akan terjawab oleh siapapun kecuali waktu. Meski waktu tak mempunyai jawaban itu, percayalah, ia mengantarkanmu pada jawaban yang entah sedang kau nanti ataupun yang tak kau ingini.
Pagi
yang sangat melelahkan aku harus mengayuh sepedaku lebih cepat dari biasanya,
pagi ini tak terasa sejuk, karena aku tergesa dengan waktu, berburu hingga ku
tak memikirkan apapun disekelilingku. Pukul tujuh pagi ini aku harus sudah
berada di ruangan ujian, sedangkan aku masih berada dijalan dengan sepedaku dan
seseorang yang juga tergesa karena menungguku. Sepertinya kita tidak bisa tepat
waktu, sudah dua puluh menit ujian berlangsung kita hanya diberi kesempatan
waktu tersisa tanpa tambahan waktu toleransi, ini adalah konsekuensi karena
kecerobohanku sendiri. Dengan bermandi peluh dan nafas yang masih terengah aku
berusaha mengumpulkan konsentrasi agar bisa menyelesaikan ujian ini dengan
baik.
Selesai
ku mengerjakan ujianku, ada yang menepukku dari belakang, hampir saja aku
melupakannya. Dia Dimas temanku, bisa dibilang sahabatku, kita berteman sejak
kecil selalu bersekolah di tempat yang sama hingga perguruan tinggi kita pun
tak terpisahkan. Dia adalah orang yang sangat baik yang kukenal setelah
keluargaku, dia yang ku percaya ku anggap sebagai saudara laki-lakiku. Dua
tahun lebih muda darinya membuatku sangat manja padanya, dia sangat memaklumi
apalagi aku adalah anak perempuan dan satu-satunya di keluargaku. Bersabar
adalah hobinya jika bersamaku, dia menerima caciku, rengekanku, dan
permintaanku yang tergolong aneh. Semua ia lakukan demi membuatku tersenyum.
Namun,
hari ini aku telah melibatkannya dalam masalahku, hari ini tidak seperti
biasanya aku bangun terlalu siang. Ayah Ibuku, mereka adalah pekerja keras yang
pastinya sudah tidak kudapati berada dirumah ketika pagi. Aku yakin mereka
sudah susah payah membangunkanku, tetapi tugasku membuatku terjaga hingga pukul
tiga dan membuatku bangun tidak seperti biasanya. Kami memang selalu berangkat
bersama dengan bersepeda, karena jarak kampus dengan rumah yang hanya sekitar
dua puluh menit kami memilih menikmati keberangkatan dan kepulangan kami dengan
mengayuh sepeda. Dia menungguku dan aku membuatnya telat untuk mengikuti ujian
yang seharusnya bisa ia ikuti tanpa kekurangan waktu karena harus menungguku.
“Bang,
Adik belum sempat belajar.” Aku menarik bajunya dengan manja.
“Kau
saja belum belajar, apa lagi Aku?” Dimas tertawa santai dan meninggalkanku
begitu saja.
Masih
dengan ekspresi yang sama, aku menjauhi ruang kelas yang tadi dan menuju ke
tempat sepedaku ku parkir tadi. Dengan gaya sok
artis aku menyapa semua orang yang ku kenal dengan gembira seperti biasa.
Dimas tetap konsentrasi dengan topi dan jaketnya tanpa memperhatikan betapa
manisnya diriku yang menyapa setiap rekan yang tersenyum padaku. Aku tertinggal
jauh dibelakannya, hingga aku sedikit berlari agar tak ditinggalkannya. Dimas
sudah sangat paham apa yang sering ku katakan hingga ketika ku mencoba
memanggilnya dia sudah hafal apa saja yang akan saya tuntut padanya.
“Bang
Dim.” Setengah berlari aku mengejarnya.
“Adik
jangan ditinggal, Adik jangan dibohongin, Adik jangan di tinggal.” Dimas meniru
gaya bicaraku sebelum aku sempat merajuk seperti biasa.
Aku
hanya diam dengan tatapan mata menyebalkan dan berpura-pura untuk sebal,
nyatanya dalam hati aku sangat senang, karena sahabatku yang satu ini yang
biasa ku panggil Abang tahu kebiasaanku. Dia memang tak memiliki ekspresi
apapun seringkali membingungkan banyak orang, tetapi sebenarnya Dimas adalah
orang yang sangat baik, hanya saja dia tidak bisa mengekspresikannya dengan
baik dihadapan orang lain.
“Sarapan
Dik.” Dimas memakaikan topinya di kepalaku hingga menutupi wajahku.
“Ayook.”
Dengan
bersemangat ku putar balik posisi topiku 180 derajat dan bernyanyi ala rapper dadakan. Dimas hanya
tersenyum melihat tingkahku yang memang seperti biasanya aneh. Dia membantuku
melepaskan kunci sepedaku. Aku benar-benar sangat di manja olehnnya. Hingga
teman satu kelasku selalu memperhatikan kami. Memang semenjak SMP kita selalu
digosipkan berpacaran nyatanya tidak, aku pernah berpacaran saat SMP beberapa
tahun dengan laki-laki lain, dan saat ini dia pun memiliki kekasih yang cantik
dari kampus sebelah. Hal ini yang membuat rekan kami bingung.
“Balapan
yang kalah bayar.” Dimas mengayuh sepedanya dengan cepat meninggalkanku.
“Curang.”
Tak kalah cepatnya aku menyusulnya bagai pembalap professional.
Akhirnya
tidak ada pemenang diantara kami, dia menungguku dan kita sampai di tempat
makan favorit seperti biasa. Dimas memesankan sarapan yang biasa kami pesan,
dia tahu betul apa yang kusuka dan tidak ku suka. Belum habis makanan yang kami
pesan, muncul bidadari cantik dari kejauhan Nampak semampai bak model professional. Semua mata tertuju padanya termasuk Dimas
tak berhenti melihatnya. Bagaimana tidak dia dinobatkan menjadi duta wisata di
wilayahnya. Gadis bernama Putri yang memiliki tubuhnya ideal, rambut indah
tergerai, dan cerdas, laki-laki mana yang tidak tertarik dengan wanita seperti
itu.
“Eh,
Dik Rara, makin manis saja.” Dia mengacak rambutku dengan lembut.
Wanita
itu duduk bergabung bersama kami dan mengambil air mineral yang disediakan di
atas meja. Aku tak menjawab sapanya mulutku penuh dengan makanan, aku takut
kalah saing jika nanti aku tersedak akan tidak lucu, aku hanya menjawab dengan
senyum sekenanya saja. Dimas juga begitu, seperti tak menghiraukan
kedatangannya, namun mereka berdua seperti memiliki kode rahasia yang tak bisa
saya pecahkan, ada satu momen mereka saling menangkap pandangan dan
menyunggingkan senyuman sedikit yang mungkin hanya aku saja yang dapat
melihatnya dari jarak ini.
“Dik,
pinjem Bang Dimasnya ya.” Putri
menggandeng Dimas yang sudah selesai makan untuk berdiri.
“Bayar
ya Dik.”
“Siap
Bang.” Tanpa protes aku menurutinya.
Mereka
pun berlalu begitu saja, aku masih sibuk dengan makananku. Ku lihat jam
tanganku menunjukan pukul 09.30. Aku bergegas pergi dari kantin setelah
membayar makananku, makanan Dimas, dan tentunya minuman Putri. Aku langsung
bergegas menuju mushola kampus yang kebetulan tidak jauh dari kantin tempat
tadi ku sarapan.
“Mungkin
masih bisa.” Sembari ku melihat jam tanganku.
Aku
tengok kanan kiri melihat seisi mushola yang memang sepi, hanya ada beberapa
anak laki-laki yang memang terpisah dari ruang yang disediakan untuk wanita. Ku
menjinjit sekenanya untuk mempertinggi ukuran tubuhku yang tergolong mini untuk
melihat masih bisakah aku melakukannya. Iya, aku berniat untuk Sholat Dhuha,
tapi malu karena ini sudah tergolong siang, jadi aku berusaha mencari teman
agar tidak seperti orang bodoh.
“Assalamu
alaikum Rani.” Gadis berjilbab panjang kali lebar menyalamiku.
“Wa
alaikum salam Mah.” Tanpa menatapnya aku masih sibuk dengan jinjitanku.
“Mau
sholat kan? Yuk bareng.”
Aku
hanya mengangguk dan mengikutinya, Dia adalah teman satu kelasku di kampus
namanya Fatimah, Dia adalah gadis yang baik, Dia adalah teman wanita yang
selalu mengingatkanku dalam kebaikan, mengajarkanku untuk menjadi seorang gadis
yang baik, meskipun aku merasa tidak bisa menyerap ilmunya sedikitpun. Aku
merasa berbeda dengan dirinya. Dia adalah gadis elegan yang anggun, seperti
bidadari, kehadirannya membuat semua orang yang disekitarnya merasakan
ketenangan yang tidak biasa, bisa dibilang Dia adalah gadis special. Dia
seperti Kakak perempuanku, karena Dia sering kali mengomel dan memarahiku jika ku
sudah bertingkah yang aneh-aneh.
Meski
begitu aku menyukainya, bahkan Aku sering kali sengaja membuatnya jengkel
dengan tingkahku, aku membuat-buat hal-hal yang aneh dan membuat Fatimah
mengomeliku, karena saat itu aku benar-benar merasa menjadi Adik kecilnya, Adik
perempuannya, dan rasanya Aku seperti punya Kakak perempuan yang sedang
mengomel.
“Ini
rambutnya keliatan Adek.” Fatimah membenahi mukenaku agar tak terlihat lagi rambutku.
Aku
hanya tersenyum melihat wajah manisnya yang bersih tanpa polesan make up sedikitpun.
“Kapan-kapan
ini harus ditutup sepenuhnya ya Adek, biargak
keluar-keluar lagi kalau lagi sholat.”
Aku
hanya tersenyum melihat perlakuannya yang benar-benar seperti Kakakku
sungguhan. Di kelas aku adalah mahasiswa termuda, dan sikap manjaku membuat
semua rekan kelasku memanggilku dengan sebutan Adik, Adek, Dedek, dan banyak
lagi. Ku mulai sholatku dengan hikmat, ku nikmati setiap doa yang ku bacakan
lirih tanpa suara, kesejukan ini berbeda dari biasanya, ada niatan yang
mendesak dan ingin segera aku lakukan. Angin Dhuha menyayat hati kesejukan yang
mengalir disetiap helai rambut yang basah oleh wudhu mengingatkanku akan
perenungan diri yang amat sangat mendalam. Ada yang ingin segera kuperbaiki. Ku
akhiri pertemuan singkat ini dengan doa, ada yang bergejolak dalam hati, ku
utarakan dengan sangat keras namun hanya padaNya Rabbku, Dia yang Maha
Mendengar, ku serahkan diri ini pada pengabdian yang selama ini keliru.
“Bantu
Aku.” Aku memeluk Fatimah yang belum selesai berdoa. Fatimahtersenyum.
Ya Rabb, masihkah Kau menerimaku
dengan perenunganku, tempat dari segala dosa yang merindukan syurga. Masih
pantaskah aku memohon? Ya Rabb, Aku sangat mempercayaimu, Hanya Engkaulah yang
mampu menggetarkan hati ini dan menakdirkan diri ini untuk memohon.
0 comments:
Post a Comment